Tanpa SDM Penilai, Kekayaan Intelektual Tak Bisa Jadi Agunan Kredit
Penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai agunan dalam proses mendapatkan pinjaman dari bank hingga kini belum efektif. Kendala yang membelit, salah satunya ialah pranata pengaturan yang belum lengkap.
Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Fadjar Hutomo mengatakan, profesi valuator kekayaan intelektual terbilang minim. Sumber daya manusia (SDM) ini bertindak sebagai penilai sisi keekonomian suatu intellectual property (IP).
"Kekayaan intelektual sudah bisa dijadikan agunan ke bank tapi bagi bank tidak sesederhana itu, karena tidak ada valuatornya. Harus ada profesi ini untuk bisa menghasilkan nilai dari suatu IP (intellectual property)," ucapnya kepada Katadata.co.id, Selasa (4/12).
(Baca juga: Baru 7,25% Pebisnis Bidang Desain Komunikasi Visual Memiliki HKI)
Undang-undang tentang Hak Cipta menyatakan, hak cipta bisa digunakan sebagai objek jaminan fidusia. Istilah "fidusia" merujuk kepada aktivitas pengalihan hak kepemilikan benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda bersangkutan tetap dalam penguasaan pemiliknya.
Pemanfaatan HKI sebagai jaminan kepada bank dimungkinkan setelah undang-undang tersebut direvisi sekitar lima tahun lalu. Ketentuan ini secara spesifik dijelaskan dalam Pasal 16 ayat 3 UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta.
Namun, penggunaan kekayaan intelektual oleh pebisnis kreatif sebagai jaminan kepada bank belum optimal sampai sekarang. "Kalaupun kami dorong dari sisi perbankan tetapi tidak ada valuatornya ya bagaimana. Kalau ada kan jadi lebih enak bicara ke bank," ucap Fadjar.
Peran penilai kekayaan intelektual terbilang penting. Alasannya, bank membutuhkan kepastian nilai atas IP yang dijaminkan oleh calon debitur. Tapi, selain membutuhkan profesional valuator yang kompeten, perlu juga aturan main yang jelas terkait indikator dalam proses valuasi IP.