LIPI: 57% Masyarakat Ingin Pemimpin Seagama dari RT hingga Presiden
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut intoleransi politik di Indonesia masih kuat. Hasil survei LIPI menunjukkan 57,8% masyarakat Indonesia hanya memilih pemimpin seagama dari tingkatan Rukun Tetangga (RT) hingga Presiden.
Survei tersebut dilakukan pada 1.800 responden di 9 provinsi di Indonesia. Peneliti LIPI Amin Mudzakkir mengatakan, agama menjadi faktor utama yang menjadi pertimbangan responden dalam memilih pemimpin. Selain itu, tingkat intoleransi ini juga berimplikasi luas dengan aktif mencegah masyarakat lain memiliki pilihan berbeda. Salah satunya larangan menyalati orang yang berbeda pilihan politik.
"Jadi kalau ukuran dalam politik, tidak toleran," kata Amin dalam diskusi 'Mekanika Elektoral dalam Arus Politik Identitas' yang diselenggarakan Para Syndicate, di Jakarta, Jumat (7/12).
Besarnya penolakan terhadap calon pemimpin yang berbeda agama didasari tiga hal. Pertama, tingginya perasaan terancam yang ditunjukkan 18,4% responden percaya agama lain mendominasi kehidupan publik. "Jadi ada perasaan ancaman dan ketidakpercayaan," kata dia.
Kedua adalah adanya gejala fanatisme agama. Survei LIPI menunjukkan, 95,6% responden sepakat akan Pancasila namun 49,5% responden setuju Perda Syariah.
Hal ini dirasakan sebagai adanya arus menghadirkan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersyariah. "Juga 40% menolak rumah ibadah agama lain di lingkungan rumahnya," kata dia.
Amin mengatakan, faktor ketiga adalah penggunaan media sosial yang mampu meningkatkan dua faktor sebelumnya. Dalam simulasi LIPI, ada 54,1% responden yang pernah mendengar berita kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari media sosial. Dari 54% responden tersebut, sebanyak 42% percaya dan setuju. "Ini kan katakan 3 atau 2 dari 10 orang Indonesia percaya PKI bangkit, dan itu dapat dari medsos," katanya.
LIPI juga pernah melakukan analisis terhadap pemberitaan daring maupun media sosial. Dari kajian itu, terlihat tiga aktor yang membentuk intoleransi politik terjadi. Menurut temuan LIPI, Front Pembela Islam (FPI) menjadi aktor pelaku intoleransi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pendukung dan justifikasi, dan Nahdlatul Ulama (NU) yang menolak intoleransi politik.
"Politik hari ini tidak bisa lepas dari agama apalagi kita lihat sejarah nasionalisme Indonesia juga berbalut sejarah," kata dia. Oleh sebab itu, tantangan utamanya adalah bagaimana mengakomodasi agama ini ke dalam ruang publik.
(Baca: Jokowi: Intoleransi Sering Terjadi karena Pengaruh Politik)
Pengamat politik President University Mohamad AS Hikam menjelaskan, meningkatnya intoleransi terjadi lantaran beberapa hal yang berkembang secara global. Pertama, adanya ketimpangan ekonomi besar yang menunculkan aktor-aktor penggerak identitas bermunculan. "Di Indonesia ini kecenderungan identitasnya primordial dan sektarian," kata Hikam.
Kedua, arus informasi yang amat terbuka pasca reformasi membawa konsekuensi beragam, seperti masuknya fanatisme. Hal ini diperparah dengan kegagalan kelembagaan politik usai tumbangnya Soeharto yang membawa masyarakat mencari panutan baru. Salah satu contohnya, ketidakpercayaan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik.
"Itu menjelaskan mengapa FPI jadi kekuatan baru dan idiom agama digunakan sebagai ideologi," ujar pria yang pernah menjabat sebagai menteri di era pemerintahan Abdurrahman Wahid ini.
Oleh sebab itu, salah satu solusinya adalah dengan mewujudkan Pancasila sebagai identitas dari kebangsaan Indonesia. Dia melihat ada semacam kekosongan kredo nasional setelah 20 tahun reformasi berjalan yang akhirnya membuat masyarakat mencari identitas alternatif. "Baru sekarang saja ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)," kata Hikam.