Risiko Resesi AS Meningkat, Ekspektasi Kenaikan Bunga Fed Melemah
Jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom dan pelaku pasar menunjukkan probabilitas risiko Amerika Serikat (AS) mengalami resesi dalam dua tahun ke depan naik menjadi 40%. Jajak pendapat itu juga menunjukkan ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan The Fed (Fed Fund Rate) tahun depan lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya.
Mendatarnya kurva imbal hasil obligasi pemerintah AS menjadi pemicu kekhawatiran terhadap perekonomian negara adidaya tersebut. Selisih imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dan sepuluh tahun turun menjadi kurang dari 10 basis poin. Ini merupakan selisih terkecil sejak resesi AS terakhir pada 2008.
Kurva imbal hasil obligasi yang mendatar menunjukkan investor yakin pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan melambat. Pembalikan kurva imbal hasil mengawali hampir seluruh resesi yang terjadi dalam 50 tahun terakhir. Hasil jajak pendapat Reuters terakhir kali menunjukkan probabilitas yang tinggi terjadinya resesi pada Januari 2008, hanya 8 bulan sebelum kolapsnya Lehman Brothers yang menyebabkan The Great Recession.
Angka 40% merupakan median yang ditarik dari kisaran probabilitas 15-75% dalam jajak pendapat 6-13 Desember 2018. Adapun jajak pendapat Reuters bulan lalu menunjukkan median probabilitas terjadinya resesi AS dalam dua tahun ke depan di angka 35%.
Kesimpulan tersebut sejalan dengan hasil jajak pendapat Reuters yang menunjukkan momentum ekonomi AS sudah mencapai puncak dan segera memasuki siklus penurunan. Survei Reuters terhadap para analis obligasi, Kamis (13/12), kurva imbal hasil obligasi AS diprediksi akan mengalami pembalikan tahun depan, kemungkinan dalam 6 bulan ke depan. Adapun resesi diprediksi akan terjadi setahun kemudian.
“Kombinasi The Fed yang tidak menganggap pembalikan kurva imbal hasil obligasi AS sebagai satu masalah dan prospek ekonomi global yang kelihatannya tidak membaik akan mengarah pada kesalahan kebijakan moneter yang akan mendorong perekonomian ke dalam resesi," kata Analis Senior AS di Rabobank Philip Marey sebagaimana dikutip Reuters. Ia menyebutkan, belum jelas berapa banyak kenaikan suku bunga acuan yang akan dilakukan The Fed tahun depan.
(Baca: Pertumbuhan Ekonomi AS Diproyeksi Melemah, Asia Bakal Terseret?)
Jajak pendapat yang dilakukan terhadap 100 ekonom pada 6-13 Desember 2018 juga menunjukkan perekonomian AS akan melambat pada beberapa kuartal ke depan. Produk Domestik Bruto (PDB) yang disetahunkan akan melambat dari 3,5% pada saat ini menjadi 1,8% pada pertengahan 2020.
Kepala Ekonom Naroff Economic Advisors mengatakan, ia belum dapat memastikan apakah AS akan mengalami resesi dalam beberapa tahun ke depan. Namun, untuk pertama kali dalam 9 tahun terakhir ia kembali memasukkan angka PDB negatif dalam proyeksinya.
Hasil survei Reuters ini dirilis pasca rontoknya pasar saham global yang membuat Indeks Standard & Poor's 500 ke level terendah dalam 8 bulan terakhir pada pekan ini. Para ekonom dalam jajak pendapat terakhir Reuters mengatakan, The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pada 19 Desember 2018. Berdasarkan konsensus analis, diprediksi hanya akan ada dua kenaikan Fed Fund Rate sehingga suku bunga acuan akan berada di level 2,75-3% pada akhir 2019.
Proyeksi kenaikan suku bunga The Fed ini lebih rendah dibandingkan proyeksi September lalu di mana para analis memprediksi akan ada tiga kali kenaikan suku bunga pada 2019. The Fed akan mengumumkan proyeksi terbarunya setelah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 18-19 Desember mendatang.
(Baca: Pasar Global Mengancam, BI Intervensi untuk Selamatkan Rupiah)