Fraser: Indonesia Termasuk 10 Negara Terendah Iklim Investasi Energi
Fraser Insitute, lembaga kajian yang berbasis di Kanada mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 negara yang memiliki iklim investasi terburuk sepanjang tahun 2018. Ini merupakan hasil survei terhadap 80 negara.
Dalam survei itu, dari 80 negara Indonesia menempati posisi 71. Kemudian diikuti Bolivia, New South Wales, Ekuador, Irak, Libya, Victoria, Tasmania, Yaman dan Venezuela.
Survei tersebut dilakukan pada 22 Mei 2018, hingga 10 Agustus 2018. Total respondennya 256 orang yang merupakan stakeholders (pemangku kepentingan) mulai dari Presiden Direktur sebuah perusahaan, geologis hingga konsultan di sektor perminyakan. Jumlah ini lebih rendah dari yang menanggapi survei tahun 2017 sebanyak 333.
Ada 16 aspek yang ditanyakan kepada para responden tersebut. Di antaranya adalah rezim fiskal, sistem perpajakan, peraturan mengenai lingkungan hidup, penegakan hukum, biaya untuk kepatuhan aturan, kawasan lindung, hambatan perdagangan, aturan ketenagakerjaan, infrastruktur, basis data geologi, kemampuan tenaga kerja, klaim tanah sengketa, stabilitas politik, keamanan, tumpang tindih aturan dan sistem hukum.
Hasil survei tersebut Indonesia memperoleh skor 47, 16, meningkat dibandingkan Dari survei sebelumnya dengan skor 35,02. Tahun lalu, Indonesia menempati peringkat 92 dari 97.
Survei tersebut menyebutkan beberapa hal yang membuat Indonesia masih masuk dalam kategori negara terburuk iklim investasinya. Salah satunya adalah ketidak pastian regulasi.
Pemerintah Indonesia juga dinilai gagal menciptakan iklim investasi yang menarik karena menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai bonus tanda tangan pada blok migas yang kontraknya akan berakhir. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 tahun 2018 yang merupakan perubahan Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 tahun 2018 yang diubah menjadi .
Dalam aturan itu memang tidak ada batas atas terkait penerapan bonus tanda tangan tersebut. Bonus tanda tangan ini tergantung dari cadangan migas yang terkandung dalam blok tersebut. Jika cadangannya besar, bonus tanda tangannya pun semakin besar.
Adapun formula penghitungan bonus tanda tangan itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1794 K/10/MEM/2018. Formulanya 25 dikali (x) (Net Present Value/NVP 10% Kontraktor dikurangi (-) Biaya Investasi yang belum dikembalikan (-) NPV10% Komitmen Kerja Pasti).
Faktor lainnya yang membuat Indonesia adalah skema kontrak baru yakni gross split. Skema itu berlaku mulai tahun 2017 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 yang diubah Peraturan Menteri ESDM Nomor 52 tahun 2017. “Sistem gross split dirancang dengan buruk dan mengecewakan bagi investor, " mengutip hasil Survei Fraser, Kamis (10/1).
(Baca: Menggugat Survei Fraser Berdasarkan Manfaat Gross Split)
Akan tetapi, survei tersebut dibantah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kepala Biro Komunikasi dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi menyampaikan lima hal penting yang membuat survei Fraser tidak valid.
Pertama, dalam laporan Fraser 2018 tersebut, disebutkan bahwa penyusunan kontrak migas gross split dirancang secara buruk dan menghambat investasi. Menurut Agung, pada realisasinya lelang blok migas di Indonesia pada tahun lalu telah laku sembilan blok migas dengan gross split.
Bahkan capaian lelang itu lebih baik dari Thailand yang menempati peringkat lebih baik dari Indonesia yakni 34. Meski dalam Fraser peringkat Thailand lebih baik, tapi tahun lalu hanya ada 2 blok migas yang laku di Thailand.
"Tahun 2017 dan 2018 terdapat sejumlah 36 blok migas dengan skema gross split dan 14 diantaranya merupakan hasil lelang. Sebaliknya tahun 2015 dan 2016 tak ada lelang blok migas yang laku satupun dengan skema cost recovery. Artinya investor merespon bahwa kontrak migas gross split lebih baik,” kata Agung kepada Katadata.co.id, Rabu (9/1).
Kedua, Kementerian ESDM mengklaim bahwa proses penyusunan peraturan terkait kontrak migas gross split sudah melibatkan para investor. Bahkan perubahan peraturan gross split dilakukan untuk mengakomodir investor dengan tetap menjaga keuntungan negara jangka panjang lebih baik.
Perubahan tersebut antara lain terkait pembebasan pajak saat eksplorasi, penambahan split kontraktor tidak lagi dibatasi atau bisa lebih dari 5%. Kemudian, penemuan cadangan pada lapangan komersial dapat tambahan split 3%, lapangan migas frontier onshore atau terpencil di darat mendapat tambahan split 4%, blok migas non-konvesional seperti CBM dan shale gas dapat tambahan split menjadi 16%.
Ketiga, Kementerian ESDM membenarkan bahwa bonus tandatangan dalam kontrak migas gross split dan komitmen kerja pasti lebih besar dibandingkan era cost recovery. Akan tetapi, tujuannya agar penerimaan negara lebih baik, dan jaminan investasi kontraktor agar pencarian cadangan dan produksi migas bisa lebih besar.
Dari total 36 kontrak migas gross split yang ada hingga saat ini, bonus tandatangan untuk Pemerintah sebesar Rp 13,4 triliun. Sedangkan komitmen investasi kontraktor sebesar Rp. 31,5 triliun yang digunakan untuk pencarian cadangan migas baru dan peningkatan produksi.
Keempat, survei Fraser 2018 yang melibatkan 80 negara itu dilakukan pada periode Mei hingga Agustus 2018, sehingga informasinya bisa jadi kurang maksimal. Dalam survei Fraser tahun 2018 juga tercatat bahwa angka survei perception index Indonesia mengalami peningkatan menjadi 47,16 dibandingkan tahun 2017 sebesar 35,02.
Kelima, Agung mengklaim investasi migas tahun 2018 tercatat US$ 12,5 miliar. Menurutnya realisasi ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 11 miliar. Namun, mengacu data, sebenarnya realisasi investasi migas tahun lalu tak memenuhi target, baru 73 % dari yang dipatok Kementerian. Seperti diketahui, pemerintah menetapkan target investasi migas pada tahun lalu US$ 16,8 miliar.