Kementerian ESDM Bantah Adanya Maladministrasi Lelang Tambang
Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengirimkan surat kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menjelaskan bahwa lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) pada tahun lalu sudah sesuai dengan prosedur. Dengan demikian, Kementerian membantah adanya maladministrasi yang membuat hasil lelang harus dibatalkan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono pun memastikan bahwa PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. yang memenangkan lelang dua wilayah WIUPK tahun lalu, tetap akan diberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi. "Sudah dijelaskan, itu sudah sesuai dengan prosedur. Statusnya masih demikian," kata Bambang kepada katadata.co.id, Senin (4/3).
Tahun lalu, Kementerian ESDM melelang enam wilayah tambang yakni Bahodopi Utara dan Matarape di Sulawesi Utara; Suasua dan Latao di Sulawesi Tenggara; Kolonodale di Sulawesi Tengah; dan Rau Pandan di Jambi. Dari enam wilayah itu, hanya Rau Pandan Jambi yang bukan wilayah penciutan milik PT Vale Indonesia Tbk.
(Baca: Tersandung Maladministrasi, Antam Tunggu Keputusan Pemerintah)
Adapun Antam memenangkan lelang untuk WIUPK yang terletak di Bahodopi Utara dan Matarape. Bahodopi Utara memiliki luas 1.896 hektare. Nilai Kompensasi Data Informasi (KDI) Rp 184 miliar. Komoditas yang dihasilkan wilayah ini yakni nikel. Sementara itu, WIUPK di Matarape bisa menghasilkan nikel dan luasnya 1.681 hektare. KDI sebesar Rp 184.05 miliar.
Namun, pada awal Januari, Ombudsman menyatakan bahwa pihaknya menemukan empat maladministrasi dalam lelang wilayah tambang tahun lalu. Berdasarkan informasi yang diperoleh katadata.co.id, terdapat beberapa poin maladministrasi.
(Baca: Empat Maladministrasi Lelang Wilayah Tambang Temuan Ombudsman)
Poin pertama maladministasi tersebut adalah penetapan WIUPK. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010, wilayah tambang harus berubah terlebih dulu menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN) terlebih dulu.
Penetapan WPN harus melalui persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian, setelah melalui WPN, bisa ditetapkan sebagai WIUPK dengan mempertimbangkan aspirasi dari pemerintah daerah.
Kedua, seharusnya WIUPK Operasi Produksi tidak bisa berubah statusnya menjadi WIUPK eksplorasi. Ini mengacu Undang-undang Nomor 4 tahun 2009.
Ketiga, maladministasi mengenai peserta lelang. Ombudsman menemukan kalau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Sulawesi Tengah yakni PD Konosara telah memenuhi persyaratan finansial dan terpilih sebagai pemenang lelang. Namun, Ditjen Mineral dan Batu Bara membatalkan pemenangan tanpa penjelasan.
Keempat, Ombudsman menemukan BUMD PT Pembangunan Sulawesi Tengah tidak diberikan kesempatan melakukan evaluasi ulang terhadap dokumen yang diberikan kepada pemerintah. Seharusnya, jika BUMD belum melengkapi dokumen, pemerintah berhak memberikan kesempatan kepada BUMD untuk melengkapinya.
Dari temuan itu, Ombudsman menyarankan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) membatalkan pemenang lelang. Menteri ESDM pun harus membatalkan keputusan Nomor 1802 K/30/MEM/2018 tentang WIUP dan WIUPK periode 2018. Setelah dibatalkan status berubah dari WIUPK menjadi WIUP, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan mengelola wilayah tambang tersebut.