Tolak Buka Data HGU, Menteri Agraria Berdalih Lindungi Industri Sawit

Dimas Jarot Bayu
6 Maret 2019, 19:08
Sofyan Djalil
KATADATA | Arief Kamaludin

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil berkukuh tak mau membuka data Hak Guna Usaha (HGU) sebagai informasi publik. Sofyan berdalih langkahnya tersebut untuk melindungi industri sawit.

Ia mengatakan, industri sawit telah memberikan pekerjaan serta pendapatan bagi banyak petani di Indonesia. Industri sawit juga merupakan sumber pendapatan negara yang cukup besar.  Berdasarkan data Kementerian Pertanian luas lahan sawit Indonesia pada 2017 mencapai 12,3 juta hektar.

Maka itu, ia menilai pembukaan data HGU sebagai informasi publik dapat membahayakan kepentingan nasional. "Kepentingan nasional itu industri sawit," kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (6/3). 

(Baca: Balas Sindiran, BPN Prabowo Tagih Pengembalian Lahan Kubu Jokowi)

Publik yang ingin mendapatkan dokumen HGU harus mengikuti prosedur yang selama ini berlaku, yaitu mengajukan permintaannya kepada kementerian. Kemudian, membayar biaya yang akan tercatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dengan prosedur tersebut, kepentingan dari orang yang meminta data HGU dapat diketahui. "Ini basisnya dulu kenapa dan apa kepentingannya?" kata dia.

Sofyan pun siap bila ada pihak yang ingin melaporkan dirinya ke penegak hukum karena belum juga membuka data HGU. Sebab, ia meyakini tindakannya tersebut sudah tepat.

LSM Desak Kementerian Agraria Buka Data HGU

Sejumlah pihak mendorong Kementerian Agraria untuk membuka data HGU sebagai informasi publik. Terlebih, sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) terkait hal itu. Putusan dengan nomor register 121 K/TUN/2017 tersebut terbit pada 2017 lalu.

Organisasi jaringan pemantau hutan Forest Watch Indonesia (FWI) pun membuka opsi untuk melaporkan Kementerian Agraria ke Bareskrim Mabes Polri lantaran belum menjalankan putusan tersebut. Opsi lainnya, mengadukan kasus ini kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga eksekusi putusan bisa segera dilaksanakan.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Mufti Barri mengatakan eksekusi putusan Mahkamah itu penting untuk menyelesaikan banyak persoalan hutan dan lahan. Sebab, berbagai masalah hutan dan lahan kerap terjadi di kawasan HGU.

(Baca: Berderet Masalah, Kementerian Agraria Didesak Buka Data HGU Ikuti MA)

Berbagai masalah itu terkait tumpang tindih perizinan, konflik lahan berkepanjangan, hingga tingginya ancaman kehilangan hutan alam di Indonesia. “Ketertutupan HGU telah menimbulkan persoalan pada pemanfaatan hutan dan lahan,” kata dia di Jakarta, Senin (3/4).

Sementara itu, Direktur Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Arman Moehammad menyatakan tertutupnya data HGU menjadi pintu masuk penyebab perampasan wilayah adat. Banyak kawasan adat yang tiba-tiba ditetapkan menjadi kawasan hutan negara atau diberikan izin konsesi.

Masyarakat adat, kata Arman, baru mengetahui kalau kawasannya telah berpindah status setelah didatangi alat berat atau ada larangan beraktivitas. “Masyarakat adat tidak pernah tahu bagaimana proses penetapan wilayah adat menjadi kawasan hutan negara atau diberikan kepada konsesi,” kata dia.

(Baca: KPA: Eskalasi Konflik Agraria di Era Jokowi Meningkat)

Hal tersebut kemudian membuat konflik antara masyarakat adat dan perusahan pemilik konsesi HGU. AMAN mencatat saat ini ada 313 ribu hektare dari 9,6 juta hektare wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin-izin konsesi HGU.

Dari jumlah tersebut, 152 komunitas adat yang tengah berkonflik atas kepemilikan lahannya. “Ini yang terpublikasi informasinya ke AMAN, tapi banyak yang sulit terjangkau,” kata Arman.

Dia juga menilai tertutupnya data HGU berpotensi menimbulkan celah korupsi. Mengutip data Walhi pada Desember 2017, ada tambahan 389,5 ribu izin HTI baru dua tahun lalu. Dari jumlah tersebut, 2.509 izin dinyatakan tidak clean and clear. Sementara 3.788 izin mati, namun tidak dikembalikan kepada negara.

Ombudsman Sebut Penutupan Data HGU Persulit Kontrol

Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih menilai tertutupnya data itu akan membuat kontrol terhadap HGU yang mau jatuh tempo menjadi sulit. Ombudsman mencatat ada 66 HGU yang akan jatuh tempo pada 2019 dan 84 HGU jatuh tempo pada 2020.

Alamsyah menilai HGU yang telah jatuh tempo bisa disalahgunakan oleh pemilik konsesi jika datanya tak dibuka. “Hanya bisa dianalisis kalau datanya dibuka. Itu kenapa informasi HGU harus dibuka,” kata Alamsyah.

Hanya saja, Alamsyah menilai data HGU memang tidak bsia dibuka secara ekstrem. Perlu ada mekanisme agar data yang dibuka nantinya tidak disalahgunakan.

(Baca: Sebanyak 1,5 Juta Hektare Lahan Terlantar di Indonesia)

Karenanya, Ombudsman tengah memediasi Kementerian ATR/BPN bersama para pemangku kepentingan lainnya untuk merumuskan mekanisme pembukaan data HGU tersebut. “Harus dibuat agar tujuan informasinya tercapai, tapi membuatnya aman,” kata Alamsyah.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...