Rencana Pencalonan Anggota BPK dari Politisi Menuai Kritik
Sejumlah nama politisi muncul dalam jajaran calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Nama-nama tersebut antara lain Ahmadi Noor Supit dari Golkar, Jon Erizal dari PAN dan Pius Lustrilanang dari Gerindra.
Munculnya nama-nama politisi ini dikritik oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira. Ia menilai penempatan politikus sebagai anggota BPK dirasa kurang tepat. Ia menilai, BPK seharusnya diisi oleh orang-orang yang sudah profesional di bidang keuangan.
"Jika pemimpin BPK berasal dari politisi akan mendatangkan masalah, padahal rekrutmen pegawainya sudah profesional," ujar Bhima kepada Katadata, Kamis (23/5).
Proses seleksi anggota BPK terdiri dari beberapa tahapan, mulai dari pembukaan pendaftaran calon anggota BPK, rapat intern dengan agenda seleksi administrasi, Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilanjutkan dengan fit and proper test dan pemungutan suara (voting) dari anggota komisi XI DPR RI.
Nah, salah satu proses seleksi angota BPK, yaitu fit and proper test dipandang Bhima diwarnai kepentingan politik partai. Ia menganggap, selama proses seleksi selalu diwarnai kepentingan politik, akan sulit sosok profesional atau pejabat karier bisa jadi orang nomor 1 di BPK ke depannya.
Bhima berpendapat, jika proses seleksi selalu sarat kepentingan politik, maka potensi konflik kepentingan akan terus berlanjut. Sederet kasus seperti kasus sengkarut audit kerugian negara Sumber Waras di era Harry Azhar menjadi salah satu contoh.
"Kalau diperhatikan, kasus itu kan sangat kental ya nuansa politiknya," ujar Bhima.
Sekadar info, kasus Sumber Waras mencuat setelah BPK menyebut laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2014 mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Salah satu indikasinya, yaitu pengadaan lahan RS Sumber Waras di Jakarta Barat dinilai tidak melewati proses pengadaan memadai.
Oleh karena itu, BPK mencatat pembelian lahan merugikan keuangan negara senilai Rp 191 miliar. KPK pun turun tangan dalam perkara ini dengan meminta BPK mengadakan audit investigasi. Dan sampai sekarang kasus ini mengambang.
(Baca: Tiga Politikus Disebut Akan Mencalonkan Diri Jadi Anggota BPK )
Pendapat senada juga diutarakan oleh Ekonom FEB Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty. Menurutnya, sudah seharusnya anggota BPK bukan seorang politisi, karena UU Tahun 2006 tentang BPK sendiri sudah jelas menyebutkan bahwa anggota BPK bebas dari kepentingan politik.
Telisa menyebut seharusnya jika seorang politisi hendak mencalonkan diri menjadi anggota BPK maka harus non aktif dari partai. "Ia harus keluar dari keanggotaan partai, harus ada pernyataan integritasnya," ujar Telisa.
Telisa mengakui, bahwa sesungguhnya kinerja BPK sudah cukup baik dan terus melakukan perbaikan sebagai mitra pemerintah, walaupun masih ada ketidakpuasan seperti daerah yang mendapat predikat wajar tanpa pengecualian lalu kepala daerahnya terkena kasus. Selain itu, beberapa kali laporan BPK tidak korelasi dengan laporan daerah.
Namun, potensi konflik kepentingan pasti akan selalu ada selama kursi anggota BPK masih ada yang diduduki politisi. Solusinya cuma satu, politisi tersebut harus non aktif dari partai dan bisa kembali aktif di politik setelah masa jabatan sebagai anggota BPK berakhir.
Masalahnya, upaya agar BPK bersih dari kepentingan politik sulit terwujud, sebab BPK dipilih dan diusulkan oleh DPR, yang merupakan lembaga politik dan diisi oleh orang-orang dari partai politik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sejatinya sudah mengusulkan sebaiknya anggota BPK dari non partai. Namun, selama proses seleksi masih dipegang oleh DPR, Telisa menyebut susah mengeluarkan aspek politik dalam anggota BPK.
"Mungkin solusinya bisa lebih ke komposisi anggota BPK, diperbanyak yang profesional, mungkin bisa dari DPR tapi ya lepas jabatannya dulu dan anggota dari partai politik tidak usah banyak, cukup satu saja sebagai pengawas," ujar Telisa.