Vokasi, Solusi Peningkatan Skill SDM
Analisis World Economic Forum tentang Global Human Capital Index 2018, seperti dikutip dari Kementerian Ketenagakerjaan, menunjukkan generasi muda Indonesia sukar bekerja karena rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya kualitas pekerja tersebut akhirnya menyebabkan rendahnya kualitas pekerjaan.
Kesulitan untuk mendapat pekerjaan yang sesuai makin menjadi apabila tenaga kerja itu hanya tamatan SMA. Mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan karena tidak mempunyai keahlian khusus dan tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia.
Karena itu, sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang ingin memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia (SDM) mulai tahun 2019, Kementerian Ketenagakerjaan memprioritaskan massifikasi pelatihan vokasi.
Vokasi dinilai sebagai solusi jitu untuk meningkatkan skill tenaga kerja agar berdaya saing tinggi karena mampu mengatasi dua permasalahan sekaligus. Vokasi bisa menjadi solusi dari masalah rendahnya daya saing angkatan kerja dan pengangguran, serta masalah mengatasi missmatch keterampilan dunia kerja.
Keunggulan vokasi antara lain durasi pelatihan relatif singkat, peserta tidak dibatasi usia, berorientasi pada penempatan kerja, dan sistem pelatihan yang fleksibel mengikuti perubahan yang terjadi pada dunia kerja. Selain itu, tenaga pengajar adalah praktisi sehingga lebih menguasai masalah di lapangan bukan hanya teori, program latihan fokus pada kompetensi yang dibutuhkan saja, serta dapat dikombinasikan dengan berbagai program pengentasan kemiskinan, seperti Kartu Indonesia Pintar dan Program Keluarga Harapan.
Jumlah peserta vokasi dalam lima tahun terakhir
Berkaitan dengan pelatihan vokasi Kemnaker telah melakukan beberapa terobosan, yakni dengan massifikasi pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK), pemagangan terstruktur, dan sertifikasi uji kompetensi.
Data perhitungan secara kumulatif dari tahun 2014-2018, jumlah peserta pelatihan di BLK telah mencapai 474. 174 orang. Perinciannya, pada tahun 2014 mencapai 62.073 orang, tahun 2015 sebanyak 92.218 orang, tahun 2016 sebanyak 81.118, tahun 2017 sejumlah 89.678 orang, dan tahun 2018 sebesar 149.087. Ditambah target pada tahun 2019 sebanyak 277.344 orang, diharapkan tahun ini, total akumulasi peserta yang mengikuti pelatihan BLK mencapai 751.518 orang. Angka yang tidak bisa dibilang sedikit.
Dari tahun ke tahun, jumlah peserta yang mengikuti pelatihan di BLK meningkat karena peningkatan kapasitas latih BLK. Artinya, kondisi peralatan penunjang pelatihan di BLK membaik sehingga program pelatihan pun dapat berjalan lancar, menarik, dan efektif. Namun, belum semua lulusan pelatihan BLK disertifikasi karena terbatasnya jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan asesor.
Adapun untuk program pemagangan, jumlah pesertanya dari tahun 2015-2018 mencapai 149.064 orang dan pada 2019 secara akumulasi jumlahnya mengalami kenaikan yang cukup signifikan menjadi 360.864 orang. Sedangkan untuk peserta sertifikasi sejak 2015 hingga Oktober 2018 mencapai 1.349.559 orang dan pada tahun 2019 secara akumulasi mencapai 1.875.748 orang.
Latar belakang pendidikan peserta vokasi
Catatan Kementerian Ketenagakerjaan, selama ini peserta pelatihan vokasi datang dari berbagai latar belakang pendidikan. Ada yang lulusan sekolah dasar (SD), sekolah menegfah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), diploma, dan universitas. Bahkan yang ada tidak bersekolah atau di luar lembaga pendidikan yang sudah disebutkan.
Dari tahun ke tahun, mayoritas peserta pelatihan vokasi di BLK adalah lulusan SMA. Pada tahun 2014, tamatan SMA yang masuk pelatihan di BLK ada 19.194 orang, meningkat menjadi 20.358 orang pada 2015 dan 32.633 orang pada 2016. Adapun pada 2017 peserta pelatihan vokasi dari lulusan SMA ini turun menjadi 16.338 orang saja. Lulusan SMA inilah yang paling giat meningkatkan kompetensi dan skill-nya untuk memudahkan mereka dalam mencari kerja.
Dalam menyeleksi calon peserta pelatihan, BLK memprioritaskan masyarakat dengan pendidikan rendah dan masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, masyarakat dengan akses pendidikan tinggi yang terbatas juga memiliki peluang lebih besar untuk mengikuti pelatihan di BLK. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Bidang Penyelenggaraan dan Pemberdayaan BBPLK Bekasi, Syafrudin.
“Negara ingin memfasilitasi masyarakat dengan keadaan ekonomi kebawah dan mereka yang tidak bisa mengakses pendidikan tinggi, sehingga BLK hadir untuk memfasilitasi golongan masyarakat tersebut,” kata Syafruddin pada Kamis, 16 Mei 2019.
Serapan tenaga kerja dari peserta pelatihan vokasi BLK
Kendati peserta pelatihan vokasi di BLK dari tahun ke tahun terus meningkat, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keikutsertaan mereka dalam pelatihan tersebut belum dapat mendongkrak kompetensi dan daya saing mereka dalam mencari pekerjaan. Hal ini terlihat dari data di bawah ini, dari tahun ke tahun, jumlah lulusan BLK yang terserap pasar kerja tidak lebih dari 24 persen.
Pada tahun 2014, dari 62.073 orang yang dilatih, sebanyak 14.910 di antaranya mendapat pekerjaan (24 persen). Tahun 2015, angka ini malah turun, dari 92.118 peserta pelatihan di BLK, hanya 11.653 orang di antaranya yang mendapat pekerjaan (12,63 persen).
Adapun tahun 2016 keadaan membaik dengan mencatatkan 22 persen dari 81.118 peserta pelatihan di BLK mendapat pekerjaan. Tahun 2017 pun semakin membaik karena dari 89.678 peserta pelatihan vokasi di BLK, sebanyak 20.612 orang di antaranya langsung terserap lapangan kerja (23 persen).
Namun pada 2018, angka serapan lulusan program vokasi di BLK ini turun lagi menjadi 19,3 persen. Dari 149.087 peserta pelatihan, hanya 28.902 orang yang mendapat pekerjaan. Adapun lulusan BLK yang mendapatkan sertifikat memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan dibanding yang tanpa sertifikat.
Kondisi ini menunjukkan bahwa missmatch di lembaga pelatihan dengan kebutuhan di pasar kerja masih terjadi, meskipun lulusan SMA atau SMK itu sudah mendapatkan pelatihan yang sesuai keinginan dan bakat mereka. Dilihat dari tingkat pendidikan, angka Tingkat Pengangguran Terbuka untuk SMK masih tertinggi dibanding tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 8,63 persen.
Skilling, Up-skilling, dan Re-skilling
Untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi peserta, BLK menggunakan sistem triple skillin, yaitu Skilling, Up-skilling, dan Re-skilling. Program Skilling ditujukan untuk angkatan kerja yang ingin mendapatkan skill dan kemampuan. Sasaranya adalah pencari kerja fresh graduate dan tujuannya memberikan pembekalan skill untuk bekerja pertama kali. Ada 7 juta penganggur dan 1,5 juta angkatan kerja lulusan SMA atau SMK baru per tahun yang menjadi sasaran program ini. Hasil yang diharapkan Skilling adalah mengurangi pengangguran.
Sementara Up-skilling untuk pekerja yang berkeinginan meningkatkan skill dan kemampuan kerja. Sasaran program Up-skilling ini adalah para pekerja dan tujuannya untuk meningkatkan kompetensi kerja, peningkatan karir, dan updating skill. Hasil yang diharapkan dari program ini adalah meningkatnya kompetensi kerja dan daya saing.
Sedangkan Re-skilling digunakan untuk angkatan kerja yang ingin mendapatkan keterampilan baru. Sasaran program ini alah para pekerja yang berpotensi, atau telah terkena pemutusan hubungan kerja. Tujuannya adalah memberikan ketrampilan vokasional yang berbeda untuk alih usaha atau alih profesi. Adapun hasil yang diharapkan dari program ini adalah mencegah pengangguran kembali.
Sistem pelatihan triple skilling ini untuk membedakan antara pekerja baru dan yang sudah lama agar sesuai dengan kemampuan mereka.
"Triple skilling tersebut untuk memastikan agar daya saing tenaga kerja lebih baik dan sesuai dengan perubahan di pasar kerja," kata Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.