Kinerja 2018 Pertamina Tertolong Piutang & Subsidi BBM dari Pemerintah

Image title
31 Mei 2019, 18:51
Gedung Pertamina
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Gedung Pertamina

PT Pertamina (Persero) mencatatkan laba bersih senilai US$ 2,53 miliar atau setara Rp 35,99 triliun (asumsi kurs Rp 14.200 per dolar AS) pada 2018. Raihan tersebut turun tipis sebesar 0,3% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 2,54 miliar. Padahal, per Juni 2018, torehan laba Pertamina baru mencapai sekitar Rp 5 triliun.

Kinerja Pertamina yang berhasil meningkatkan labanya hingga Rp 30 triliun dalam waktu enam bulan tertolong oleh piutang selisih harga bahan bakar minyak (BBM) penugasan dan subsidi dari Pemerintah yang melonjak drastis sebesar 57,6%, dari US$ 3,57 miliar pada 2017 menjadi US$ 5,63 miliar.

Direktur Keuangan Pertamina Pahala N. Mansury menjelaskan, peningkatan besaran subsidi tersebut karena tahun lalu pemerintah meneken Peraturan Presiden nomor 43 yang mengatur jika Pertamina menjual BBM yang sifatnya penugasan dan subsidi, di mana harga jual ecerannya di bawah harga dasar, maka Pertamina bakal mendapatkan ganti dari selisih tersebut.

Pembayaran tersebut, diakui Pahala sebagai piutang dari pemerintah dan sebagai pendapatan Pertamina. "Itu mendukung agar Pertamina bisa melakukan penugasan dari Pemerintah. Kalau kami diberikan penugasan dan menjual di bawah HPP, itu perlu ada pergantian," kata Pahala di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jakarta, Jumat (31/5)

(Baca: Pertamina Gandeng Bank BUMN, Tawarkan Cashback Hingga 30% di 148 SPBU)

Peningkatan tersebut berdasarkan koreksi audit Pemerintah oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementerian ESDM dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK tanggal 20 Mei 2019. Selain itu, pendapatan usaha dari aktivitas operasi lainnya juga meningkat tajam sebesar 427,7% dari hanya US$ 740 juta menjadi US$ 3,90 miliar.

Dalam laporan tahunan dijelaskan bahwa kenaikan drastis pada pos piutang selisih harga dan subsidi BBM tersebut karena Pertamina mendapatkan pendapatan dan piutang dari Pemerintah atas selisih harga jenis BBM tertentu (JBT) minyak solar, baik pada 2017 dan 2018 yang nilai totalnya sebesar US$ 2,98 miliar.

Nilai tersebut termasuk kekurangan penerimaan atas selisih harga atas penyaluran JBT minyak solar pada 2018 sebesar US$ 2,02 miliar (Rp 29,31 triliun), kekurangan penerimaan atas penyaluran JBT minyak tanah US$ 16,83 juta (Rp 243,68 miliar), kekurangan  penerimaan atas selisih harga JBKP premium sebesar US$ 1,46 miliar (Rp 23,27 triliun), berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 20 Mei 2019.

Pertamina juga mengalami kelebihan penerimaan atas penjualan JBKP premium Jamali (Jawa-Madura-Bali) yang melebihi harga jual eceran ketetapan Pemerintah sebesar US$ 16,22 juta (Rp 234,82 miliar) akibat penetapan wilayah Jamali menjadi wilayah penugasan.

(Baca: Tol Sumatera Langka BBM, Pertamina Tambah SPBU dan Mobil Dispenser)

Dengan demikian jumlah piutang pemerintah terhadap Pertamina atas pengakuan selisih harga tersebut sebesar US$ 3,90 miliar. Namun, terdapat penyesuaian nilai wajar yang totalnya senilai US$ 981,3 juta. Sehingga piutang bersih pemerintah ke Pertamina setelah penyesuaian nilai wajar tersebut senilai US$ 2,92 miliar.

Penjualan Juga Meningkat

Kendati demikian, penjualan dan pendapatan usaha sepanjang 2018 juga mengalami peningkatan yang signifikan. Pos dalam kinerja keuangan tersebut tercatat tumbuh sebesar 25,9% secara tahunan . "Tahun 2017 penjualan sebesar US$ 46 miliar, sekarang di 2018 penjualan US$ 57,9 miliar," kata Pahala.

Pencapaian laba tersebut terutama ditopang oleh kenaikan penjualan minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi, dan produk minyak dalam negeri sebesar 12,4% menjadi US$ 44,74 miliar, dari US$ 39,7 miliar di 2017. Kontribusi selanjutnya yaitu dari penjualan ekspor minyak mentah, gas bumi, dan produk minyak senilai US$ 3,63 miliar atau melonjak 94% dibadingkan 2017 senilai US$ 1,87 miliar.

Pahala menjelaskan peningkatan penjualan tersebut juga berasal dari realisasi harga harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sebesar US$ 67,4 per barel atau lebih tinggi dari asumsi ICP dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Pertamina pada level US$ 48 per barel.

(Baca: Kantongi Laba Bersih Rp 36 T, Pertamina Setor Dividen Rp 7,95 T)

"Ini peningkatan dibandingkan RKAP. Itu yang paling signifikan, yang menyebabkan pendapatan meningkat 25,9%," ujarnya. Selain itu, tambah Pahala, produksi gas juga mengalami peningkatan hingga 30%. Peningkatan ini karena masuknya aset di Mahakam, dimana Pertamina mulai menjadi operator pada 2018.

Beban Meningkat Signifikan

Meski jumlah penjualan dan pendapatan naik, serta didukung subsidi dari Pemerintah, namun jumlah beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya ikut naik sebesar 29,4% menjadi US$ 48,7 miliar dari US$ 37,6 miliar di 2017. Meski begitu, Pertamina masih mencatatkan laba bruto senilai US$ 9,21 miliar atau masih naik 10,0% dibandingkan sebelumnya senilai US$ 8,37 miliar.

Dari laba bruto tersebut, setelah dikurangi beban lain-lainnya seperti beban penjualan dan pemasaran, beban umum dan administrasi, dan lain-lainnya, laba sebelum pajak penghasilan Pertamina tercatat senilai US$ 5,72 miliar atau masih tumbuh 48,1% dari US$ 3,86 miliar. Namun, laba tahun berjalan 2018 tergerus karena besarnya beban pajak penghasilan neto.

Tercatat, beban pajak penghasilan neto pertamina senilai US$ 3,01 miliar, lebih besar 158,4% dibandingkan 2017 yang hanya US$ 1,16 miliar. Sehingga laba tahun berjalan pada 2018 hanya tumbuh 0,59% dari US$ 2,70 miliar di 2017 menjadi US$ 2,71 miliar.

(Baca: Kerja Sama Kilang Cilacap Pertamina-Aramco Terancam Tak Tercapai)

Reporter: Ihya Ulum Aldin

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...