Di Balik Putusan Tak Bulat Vonis Karen Soal Kerugian Negara
Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) telah divonis bersalah dalam kasus dugaan korupsi investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Karen dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider empat bulan.
Vonis tersebut dijatuhkan akibat kebijakan Karen ketika itu berivestasi di Blok BMG Australia melalui Interest Participating (IP). Karena tak didasari kajian kelayakan, analisis risiko, serta rekomendasi dari Dewan Komisaris, produksi minyak mentah yang diperoleh Pertamina dari blok tersebut jauh di bawah perkiraan.
Permasalahan memburuk ketika PT Roc Oil Company Ltd Australia sebagai operator menghentikan produksi minyak di Blok BMG karena dinilai tidak ekonomis. Alhasil, Karen dituding mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 568,06 miliar.
(Baca: Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Divonis 8 Tahun Penjara)
Dalam putusan vonis untuk Karen, hakim Anwar menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Anwar menilai Karen tidak bersalah dan tak terbukti melakukan korupsi dalam kasus tersebut. Karen dianggap tidak melakukan penyalahgunaan wewenang karena memutuskan investasi di Blok BMG bersama jajaran direksi lainnya dan meminta pendapat dewan komisaris.
Terkait dengan adanya audit keuangan yang menyatakan adanya kerugian sebesar Rp 568,06 miliar dari investasi di Blok BMG, Anwar menilai hal tersebut tidak serta-merta bisa menjadi kerugian negara. Sebab, kerugian itu terjadi dalam kepentingan bisnis, bukan kepentingan pribadi.
(Baca: Satu Hakim Beda Pendapat, Sebut Eks Dirut Pertamina Tak Korupsi)
Selain itu, Anwar menilai perlu pembuktian adanya persekongkolan antara Karen dengan PT Roc Oil Company Ltd Australia atau pihak yang menjual Blok BMG kepada Pertamina. Hanya saja, dalam perkara ini tidak ada satu pun pihak Roc Ltd yang diperiksa. "Dengan demikian tidak bisa dikatakan kerugian negara, karena dalam rangka menjalankan bisnis. Namanya bisnis mesti ada risiko. Maka ketika ada kerugian, tidak serta merta menjadi kerugian negara," kata dia.
Debat Pembuktian Kasus Korupsi
Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) Arsil menilai perbedaan pendapat hakim dapat dibuktikan lebih lanjut dalam pengadilan tingkat banding dan kasasi.
Arsil menilai, perbedaan pendapat ini menunjukkan pembuktian untuk melihat terjadinya korupsi atau tidak dalam kasus Karen belum terlalu terang. “Apakah ini diskresi ataukah bisnis judgment role atau tidak. Jika orang itu melakukan kesalahan dan mendapatkan keuntungan, itu namanya korupsi,” kata arsil dihubungi Katadata.co.id.
(Baca: Vonis 8 Tahun Penjara, Eks Dirut Pertamina: Allahu Akbar, Saya Banding)
Arsil menilai terdapat permasalahan yang serius dalam penafsiran dan penerapan pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
“Nah ini bermasalah ketika kedua pasal ini diterapkan, titik beratnya pada konteks ada tidaknya kerugikan negara. Seharusnya pada ada tidaknya maksud untuk mendapat keuntungan secara melawan hukum,” kata Arsil.
(Baca juga: Vonis Hakim dalam Kasus Korupsi Dinilai Tak Konsisten)
Arsil menyatakan korupsi dalam pengambilan kebijakan seharusnya membuktikan keuntungan pribadi atau orang lain. Hasil audit BPK atau BPKP yang menunjukkan kerugian negara, dianggap tidak cukup membuktikan adanya korupsi.“Kerugian itu disebabkan karena adanya suatu kesalahan. Kesalahan bisa saja dilakukan disengaja ataupun tidak disengaja,” kata dia.
Kesalahan dalam mengambil keputusan bisnis, kata Arsil, bisa merupakan judgement role. “Itu tidak bisa dipidana. Bila keputusannnya menyebabkan kerugian, pertanggungjawabannya di ranah perdata,” kata Arsil.
Arsil menerangkan yang perlu dikejar dalam pembuktian korupsi adalah keuntungan yang diperoleh seseorang atau pihak lain. “Jika tujuannya menguntungkan perusahaan lain atau korporasi lain ataupun untuk keuntungan pribadi itu baru yang dipermasalahkan. Artinya ada penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi ataupun keuntungan korporasi lain. Itu baru disebut korupsi,” kata Arsil.
(Baca: Pledoi Karen, Keputusan Pertamina Akuisisi BMG Tak untuk Perkaya Diri)
Senada dengan Arsil disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Erman Rajagukguk. Erman menilai kasus korupsi harus disertakan bukti keuntungan yang diperoleh koruptor dari kebijakan yang diambilnya.
Dia menilai, kerugian yang diderita perusahaan negara bisa saja akibat kesalahan pengambilan kebijakan. Lagipula dalam bisnis, Erman menilai berbagai kebijakan yang dibuat tidaklah selalu bisa menguntungkan perusahaan. "Misalnya ketika memutuskan produksi minyak kan belum tentu berhasil. Bisa ada, bisa enggak. Jadi kalau digali enggak ada (minyak), ya bukan salah dia," kata Erman ketika dihubungi Katadata, Rabu (12/6).
Erman menilai berbagai kasus korupsi yang terkait aksi korporasi dikhawatirkan membuat para pemangku kebijakan, khususnya di BUMN takut berinovasi. Sebab, Erman menyebut mereka bakal khawatir jika kebijakan yang dibuat berujung pada kasus korupsi.
"Bisa saja ini menjadi ketakutan dalam mengambil kebijakan," kata Erman.
Deretan Kasus Mirip dengan Vonis Karen
Vonis terhadap Karen menambah daftar aksi korporasi yang dijerat dugaan tindak pidana korupsi lantaran merugikan negara bertambah panjang. Sebelum Karen, terdapat beberapa kasus serupa, sebagai berikut.
1. Hotasi Nababan
Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan pernah terlihat dalam kasus sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 oleh PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dari Thirdstone Aircraft Leasing Group.
Kasus tersebut bermula ketika MNA menyewa dua pesawat Boeing seharga US$ 1 juta dari TALG dengan syarat refundable security deposit (RSD) pada 2006. Hanya saja di tengah perjalanan, proses sewa-menyewa tersebut gagal.
MNA pun menggugat TALG ke Pengadilan Distrik Columbia, Washington DC, Amerika Serikat dan memenangkannya. TALG lantas diminta mengembalikan uang yang telah diberikan oleh MNA. Tak cukup sampai di situ, MNA juga mempidanakan petinggi TALG, yakni Jon Cooper dan Alan Massner karena tindak pidana penipuan.
Meski memenangkan kasus di AS, Kejaksaan Agung tetap mempidanakan kasus sewa dua pesawat Boeing tersebut. Hotasi yang menjabat Direktur Utama PT MNA periode 2002-2008, menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Awalnya, Pengadilan Tipikor Jakarta sempat membebaskan Hotasi dari seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 2013. Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menganulir putusan tersebut dan memvonis Hotasi selama empat tahun penjara pada 2014.
Majelis hakim beranggapan bahwa Hotasi salah karena proses sewa-menyewa tidak melalui mekanisme letter of credit atau escrow account, melainkan tunai ke rekening Hume & Associates PC. Selain itu, majelis hakim juga menilai proses penyewaan tidak sesuai prosedur yang berlaku di MNA, yakni melalui persetujuan pemegang saham melalui pengesahan RAK-Pj.
Hotasi juga dianggap tidak teliti dan tak mengindahkan ketentuan Undang-undang. "Maka PT MNA mengalami kerugian yang besar, yaitu hilangnya PT MNA sebesar US$ 1 juta," kata majelis hakim sebagaimana tertuang dalam putusan kasasi.
2. Indar Atmanto
Kasus serupa lainnya yakni dugaan korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto. Kasus ini bermula ketika IM2 melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama dengan PT Indosat yang merupakan induk usahanya dalam menggunakan frekuensi radio 2,1 GHz (3G) pada 24 November 2006.
Penggunaan bersama frekuensi tersebut menguntungkan IM2 karena tak harus membayar biaya frekuensi. Sebenarnya, praktik tersebut merupakan hal lumrah di bidang telekomunikasi. Meski demikian, aksi korporasi IM2 dan Indosat ketika itu dianggap sebagai suatu pelanggaran. Sebab, IM2 telah menggunakan tanpa hak frekuensi 3G milik Indosat.
Kerja sama selama periode 2006-2012 tersebut kemudian dinilai telah merugikan negara Rp 1,358 triliun. Hal ini sebagaimana audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Atas dasar itu, berdasarkan laporan dari Denny AK atas nama Lembaga Konsumen Telekomunikasi Indonesia (LKTI), Kejaksaan Agung mengusut kasus tersebut.
Pada 8 Juli 2013, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Indar hukuman empat tahun penjara. Sementara, IM2 dijatuhi pidana uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman Indar menjadi delapan tahun penjara, namun meloloskan IM2 dari hukuman pidana uang pengganti.
Di tingkat kasasi, MA tetap menghukum Indar selama delapan tahun penjara. Ada pun, IM2 dihukum membayar ganti rugi Rp 1,358 triliun kepada negara dengan tenggat satu bulan. Pada Desember 2015, Indar mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Hanya saja, MA bergeming dan menolak PK Indar.
Belakangan, Denny AK sebagai pelapor diketahui dihukum 16 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri karena terbukti melakukan pemerasan. Selain itu, kasus ini disorot karena adanya putusan kasasi Nomor 263 /TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014.
Putusan tersebut berisi penolakan atas kasasi yang diajukan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2. PTUN sebelumnya memutuskan hasil audit BPKP terkait kerugian negara senilai Rp 1,3 triliun dalam perkara IM2 tidak sah.
3. Nur Pamudji
Lebih lanjut, ada kasus dugaan korupsi pengadaan BBM HSD yang menjerat mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) Nur Pamudji. Bareskrim Mabes Polri menjadikannya tersangka ketika menjabat sebagai Direktur Energi Primer PLN.
Kasus ini bermula ketika Nur menunjuk PT Trans Petrochemical Pasific Indotama (TPPI) sebagai pemasuk BBM HSD bagi PLN selama empat tahun pada 2010. Padahal, hasil penilaian tim verifikasi PLN menyatakan bahwa TPPI tidak layak memasok BBM HSD karena tengah bermasalah.
Dalam realisasinya, TPPI hanya mampu memenuhi pasokan BBM HSD untuk satu tahun dari jangka waktu yang sudah disepekati dalam kontrak. Lebih lanjut, kinerja TPPI melemah dan tak mampu lagi meneruskan perjanjian.
Pamudji pun disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Saat ini, perkara yang menjerat Pamudji masih dalam tahap penyidikan.