Bank Mandiri Perkirakan BI Turunkan Suku Bunga Acuan 0,25%
Bank Indonesia (BI) akan menggelar rapat dewan gubernur pada siang nanti untuk memutuskan arah suku bunga acuan yang bertahan di level 6% sejak November lalu. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) memperkirakan bank sentral bakal menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps).
Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Panji Irawan yakin hal tersebut terjadi karena Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) kemungkinan besar akan menurunkan suku bunga acuannya, Fed Fund Rate, sebesar 25 bps. "Menurut prediksi kami, pasti BI juga akan melakukan hal yang sama (menurunkan suku bunga acuan)," katanya di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (17/7).
Pada kesempatan yang sama Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Hery Gunardi mengatakan, outlook makro ekonomi dalam negeri dalam beberapa pekan ke belakang cukup bagus. Hal itu terlihat seperti dari nilai tukar rupiah terhadap doalr AS yang menguat hingga di bawah Rp 14.000 per US$, arus masuk modal (capital inflow) ke dalam negeri, maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) yang berada di atas level 6.300.
"Kalau melihat parameter itu, ada ruang penurunan suku bunga acuan. Kami harapkan, besok mudah-mudahan ada kabar positif," kata Hery.
(Baca: Kondisi Pasar Mendukung, BI Diprediksi Pangkas Bunga Acuan 0,25%)
Ia menilai, dengan penurunan suku bunga acuan oleh BI sebesar 25 bps, bakal berpengaruh positif pada industri perbankan nasional. Karena suku bunga acuan yang turun akan memengaruhi tingkat suku bunga dana pihak ketiga (DPK). Sehingga suku bunga dari dana mahal seperti deposito, bisa disesuaikan.
Panji menambahkan, dampak positif lainnya, yaitu perbankan memiliki dasar untuk menurunkan special rate mereka juga sebesar 25 bps. Dampak dari penurunan itu, baik special rate maupun suku bunga deposito, yaitu ikut turunnya biaya dana (cost of fund) sehingga bagus untuk marjin bunga bersih (net interest margin/NIM).
Pertumbuhan Kredit Bank Mandiri
Sebagai informasi, NIM Bank Mandiri hingga Semester I-2019 ini turun 14 bps menjadi 5,58% dari posisi enam bulan pertama tahun lalu di level 5,72%. Penurunan ini bukan karena tingkat suku bunga yang tinggi sejak pertengahan tahun lalu hingga kini, namun karena ada perubahan portofolio pemberian pinjaman oleh bank pelat merah ini.
Sebelumnya, Bank Mandiri memberikan pinjaman kepada pihak yang memiliki profil risiko tinggi meski yield-nya juga tinggi, menjadi ke pihak dengan profil risiko yang lebih rendah meski yieldnya juga rendah. Hal tersebut terlihat dari kualitas kredit bank pelat merah itu yang semakin baik. Kredit seret alias Non Performing Loan (NPL) mereka di level 2,59%, terendah sejak Triwulan III-2015.
Panji menambahkan, kondisi perbankan ke depan semakin cerah berkat kebijakan BI yang menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah sebesar 50 basis poin, jadi masing-masing menjadi 6% dan 4,5%. Hal ini membuat dana yang tadinya dikamarkan di giro BI bisa digunakan untuk perbankan.
Kebijakan penurunan GWM tersebut, secara langsung dirasakan oleh Bank Mandiri yang ketambahan dana Rp 4 triliun. Dana ini rencananya untuk melakukan ekpansi kredit. "Sangat menunjang sekali, inline dengan target kami," kata Panji.
(Baca: Kredit Tembus 2 Digit, Laba Bersih Bank Mandiri Capai Rp 13,5 Triliun)
Bank Mandiri menargetkan penyaluran kredit hingga akhir tahun ini dapat tumbuh hingga 12% dibandingkan realisasi penyaluran kredit tahun lalu. Sebelumnya, dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP), target pertumbuhan kredit hanya 10%.
Adapun, hingga Semester I-2019 ini, Bank Mandiri telah menyalurkan kredit senilai Rp 690,5 triliun. Capaian tersebut tumbuh 12,1% dibandingkan penyaluran kredit enam bulan pertama tahun lalu. Pertumbuhan kredit ditopang oleh dua segmen utama, yakni korporasi dan ritel yang berfokus pada kredit mikro dan konsumer.
Per Juni 2019, pembiayaan segmen korporasi tumbuh rata-rata 21,2 % secara tahunan alias year on year (yoy) atau mencapai Rp 338,4 triliun. Sementara segmen mikro tumbuh rata-rata 23,6 %, sebesar Rp 110,4 triliun.