Candu Impor Kereta Bekas Jepang
Demi meningkatkan kapasitas angkut penumpang, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) akan menambah rangkaian kereta rel listrik (KRL) menjadi 119 unit. Seluruh kereta tambahan ini diimpor dari Jepang. Ini merupakan kereta bekas yang sudah tidak dipakai lagi di Negeri Sakura.
"Tahun ini kami akan mendatangkan 100 kereta. Mungkin akan datang sisanya lima rangkaian lagi," kata Direktur Keselamatan KCI John Roberto, seperti dikutip Antara, Kamis (15/8).
Dengan tambahan kereta ini, KCI menargetkan bisa mengangkut hingga 1,2 juta penumpang per hari di akhir 2019. Berdasarkan data KCI, saat ini anak usaha PT Kereta Api Indonesia (KAI) tersebut baru bisa mengangkut 1,1 juta penumpang per hari.
(Baca: Ujicoba LRT Dimulai, Ini Beda LRT, MRT, dan KRL)
KCI optimistis target tersebut bisa tercapai. Apalagi, permintaan akan kereta selalu ada seiring dengan kebutuhan masyarakat akan moda transportasi tersebut. Saat ini ada 958 perjalanan KRL per hari, dengan lima lintasan yang total panjangnya 418 kilometer.
Pembelian kereta yang dilakukan KCI memunculkan pertanyaan. Indonesia sudah memiliki PT Industri Kereta Api (INKA), tapi KCI malah mengimpor kebutuhan keretanya dari luar negeri. Bahkan, kereta yang diimpor pun adalah kereta bekas yang usianya sudah uzur.
Direktur Utama INKA Budi Noviantoro mengatakan kereta impor dari Jepang tidak bisa dibandingkan dengan kereta buatan perusahaannya. Alasan utama KAI mengimpor kereta dari Jepang adalah terkait harga. Kereta yang diimpor dari Jepang merupakan kereta bekas yang harganya lebih murah dari kereta baru buatan INKA.
Dia menjelaskan biaya untuk mendatangkan kereta bekas dari Jepang rata-rata sekitar Rp 2 miliar. Biaya ini jauh lebih murah dibandingkan harga kereta baru yang diproduksi INKA, mencapai US$ 1,3 juta atau setara Rp 18 miliar, dengan kurs sekarang. "Di Jepang, meski hanya membuang barang bekas juga mahal ongkosnya. Tapi kalau harus beli baru juga lebih mahal," kata Budi di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (19/8).
Meski begitu, kata Budi, KAI masih mempertimbangkan untuk membeli kereta dari INKA. Salah satu pertimbangannya adalah masalah perawatan kereta bekas dari Jepang yang menyulitkan. Suku cadangnya susah didapat karena banyak yang sudah tidak diproduksi. Biaya perawatannya juga bisa mahal, karena umur keretanya sudah tua.
(Baca: KCI Berencana Kurangi Subsidi Tarif Commuter Line)
Selain itu, izin dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terhadap PT KCJ terkait teknis impor barang modal bekas akan segera habis masa berlakunya. "Kelihatannya KAI sudah tidak punya izin di situ, sehingga mau tidak mau mereka butuh kereta baru untuk 2023," kata Budi.
Hibah Kereta Bekas Jepang
Kehadiran kereta bekas Jepang melintas di rel KAI berawal dari hibah. Pada 2000, Pemerintah Kota Tokyo menghibahkan KRL Toei seri 6000 kepada pemerintah Indonesia. Ini salah satu kereta legendaris, karena merupakan KRL berpendingin (AC) eks-Jepang pertama yang beroperasi di Indonesia. Kereta ini juga menandai dimulainya era modernisasi KRL Jabotabek.
KRL Toei seri 6000 mulai beroperasi di Jepang pada 1968. Sebenarnya, Jepang menetapkan usia layak pakai kereta produksinya selama 50 tahun. Namun, baru 32 tahun beroperasi, Jepang mempensiunkan kereta jenis ini dan menggantinya dengan yang baru. Daripada dibuang, Pemerintah Jepang pun menghibahkan kereta lamanya kepada Indonesia.
(Baca: Menengok O-Bahn di Negara Lain, Bus dengan Rel Khusus)
Saat itu Indonesia memang membutuhkan tambahan rangkaian kereta. Jumlah penumpang sudah sangat banyak dan kereta yang ada sudah tidak mampu menampung. Bahkan, banyak penumpang yang duduk di atap rangkaian kereta dan di tempat masinis, karena saking padatnya penumpang di dalam gerbong.
Pada 2000 kereta hibah ini didatangkan ke Indonesia sebanyak 72 unit. Kereta ini dioperasikan di jalur Jabotabek, yang awalnya untuk kereta ekspres. Cukup awet, kereta tua ini mampu beroperasi hingga belasan tahun di Indonesia. September 2016 seluruh kereta hibah ini pensiun. Meski tak lagi mendapat hibah, KAI justru membeli kereta bekas dari Jepang.
Beli Kereta Bekas Jepang Sejak 2004
KAI mulai memutuskan membeli kereta bekas dari Jepang sejak 2004. Pertimbangannya tak hanya dari sisi harga, tapi keandalan kereta Jepang yang dinilai lebih baik dari Eropa. Pengadaan kereta baru juga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam produksinya.
Sebelumnya, Indonesia juga pernah membeli rangkaian kereta baru dari Eropa, yakni Jerman dan Belanda. Pada 1992, pemerintah membeli dua set kereta dari Jerman. Mesinnya dari Korea Selatan dan dirangkai di Indonesia. Namun, tidak sampai satu tahun, sudah ada masalah. Meski sudah diperbaiki, kerusakan masih tetap ada.
(Baca: Indonesia Masuk Daftar Negara Eksportir Kereta Terbesar Dunia)
Hal yang sama terulang di 128 set kereta baru dari Belanda. Walhasil pada 2007, jumlah kereta yang tidak bisa beroperasi lebih banyak dari kereta yang aktif. Empat tahun kemudian, sudah tidak ada lagi rangkaian kereta produksi Eropa yang beroperasi di Indonesia.
Sejak 2004 KAI memutuskan pengadaan kereta dialihkan ke kereta bekas (second) dari Jepang. Alasannya, kereta hibah Jepang sebelumnya bisa bertahan hingga puluhan tahun. Kereta yang dibeli pada 2004 adalah seri 103 yang dibuat sekitar 1966-1967. Meski bekas, ternyata kereta Jepang lebih andal ketimbang Eropa.
Selain andal, kereta bekas Jepang jauh lebih murah. Faktor ini menjadi pertimbangan utama, mengingat tarif perjalanan kereta yang berlaku di Indonesia sangat murah. Dengan tarif yang rendah, sulit bagi KAI, terutama KCI mendapatkan menutup biaya investasi yang dikeluarkan (break even point).
Faktor lainnya adalah KAI harus mengejar target yang ditetapkan pemerintah. Pada 2013 pemerintah memberikan target kepada KAI untuk bisa mengangkut 1,2 juta penumpang Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) per hari pada 2019. Untuk mencapai target KCI membutuhkan sekitar 160 kereta. Akan sangat sulit membeli ratusan kereta baru dalam waktu singkat. Bahkan, kapasitas produksi INKA pun belum mampu. Makanya, sekitar 2015, KAI memesan 60 rangkaian kereta bekas Jepang.