Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa

Hari Widowati
26 Agustus 2019, 08:49
boikot minyak sawit, larangan Uni Eropa, CPO, ekspor minyak sawit, proteksionisme,
ANTARA FOTO/Rahmad
Pekerja merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara, Aceh, Kamis (26/10). Uni Eropa menerapkan tarif 8-18% untuk produk biodiesel Indonesia sejak 14 Agustus 2019.

Perselisihan Indonesia dan Uni Eropa soal minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) semakin memanas. Setelah Uni Eropa menerapkan tarif bea masuk produk biodiesel dari Indonesia sebesar 8-18%, giliran Indonesia melarang produk-produk berlabel bebas minyak sawit (palm oil free) dijual di supermarket dan gerai retail lainnya.

Kampanye menolak produk-produk yang menggunakan minyak sawit sebenarnya bukan hal baru. Selama beberapa tahun terakhir, kampanye ini gencar dilancarkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun oleh pemerintah Uni Eropa.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit disebut sebagai penyebab deforestasi, peningkatan emisi karbon, dan mengancam habitat orang utan. Sementara itu, produsen minyak sawit seperti Indonesia dan Malaysia menuding kampanye tersebut merupakan upaya Uni Eropa untuk melindungi kepentingan dan pasar domestiknya dari serbuan minyak nabati berharga murah.

Benih Kelapa Sawit Dibawa Eropa dari Afrika Barat

Sejarah perdagangan minyak sawit sebenarnya bukan dimulai dari Asia. Perkebunan kelapa sawit berasal dari Afrika Barat, terbentang dari Angola hingga Pantai Gading. Sekitar tahun 1849, Belanda dan Inggris punya ide untuk membawa benih kelapa sawit dari Afrika Barat ke daerah jajahannya, yakni Indonesia dan Malaysia. Butuh waktu sekitar 60 tahun sebelum benih kelapa sawit itu diperdagangkan secara komersial.

Singkat cerita, tanaman kelapa sawit ternyata cocok ditanam di iklim tropis. Ketika Malaysia menjadi negara merdeka, pemerintahnya mengembangkan program untuk memperluas produksi minyak sawit, menggantikan kayu dan karet.

Bagaimana dengan perkembangan kelapa sawit di Indonesia? Sejarahnya berawal dari empat benih kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam yang dibawa ilmuwan Belanda Dr. DT. Pryce untuk dijadikan koleksi Kebun Raya Bogor pada 1848. Biji kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor inilah yang disebar sebagai tanaman hias sekaligus percobaan di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sumatra, khususnya di perkebunan tembakau Deli.

(Baca: Biodiesel RI Resmi Kena Sanksi, Pemerintah Pastikan Balas Uni Eropa)

Perkebunan kelapa sawit pertama pada 1878 dikembangkan oleh Deli Maatschappij di lahan seluas 0,4 hektare. Produksi kelapa sawit tersebut ternyata lebih baik daripada di Afrika Barat yang menjadi habitat asalnya. Namun, pengolahannya masih terkendala. Pada 1911, perusahaan Belgia membuka usaha perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh).

Langkah Belgia diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya, seperti Jerman, Belanda, dan Inggris. Pada 1916 ada 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan tumbuh hampir dua kali lipat menjadi 34 perusahaan pada 1920.

Area perkebunan kelapa sawit pun terus bertambah dari 300 ribu hektare pada 1980 menjadi 11,6 juta hektare pada 2016. Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada 1980 produksi CPO Indonesia sebesar 700 ribu ton. Pada 2016, produksi CPO sudah mencapai 33,5 juta ton.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...