ASEAN Diprediksi Untung di Tengah Perang Dagang AS-Tiongkok
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ASEAN diprediksi menjadi kawasan yang dapat mengambil keuntungan di tengah peningkatan tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Namun, Indonesia sebagai negara pengekspor komoditas dinilai tetap perlu berhati-hati terhadap dinamika harga komoditas yang biasanya terjadi di tengah ketidakpastian global.
"Indonesia dan Malaysia perlu terus berhati-hati pada dinamika harga komoditas. Namun, pemerintah terus berupaya agar momentum percepatan pertumbuhan ekonomi pada 2020 terjaga," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Parpipurna DPR, Selasa (27/8).
Tahun depan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Target tersebut, menurut Sri Mulyani, sudah memperhitungkan dinamika perekonomian global.
Ia menjelaskan perekonomian dunia saat ini menghadapi ketidakpastian, seperti perang dagang, perlambatan ekonomi, serta gejolak geopolitik pada sejumlah negara. Untuk itu, menurut dia, pemerintah akan jeli dalam melihat kondisi dan memanfaatkan peluang yang ada.
"Dalam menghadapi berbagai risiko global tersebut, Indonesia tetap jeli mengambil peluang yang ada," terang dia.
(Baca: Trump Sebut Tiongkok Tak Punya Pilihan Selain Sepakat dengan AS)
Adapun salah satu kunci untuk mengambil peluang tersebut, yakni dengan terus meningkatkan daya saing nasional. Menurut dia, daya saing nasional sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM).
Sementara itu, DPR turut menyampaikan sejumlah masukan kepada pemerintah dalam menghadapi perang dagang yang berkepanjangan antara AS dan Tiongkok. Salah satunya meminta pemerintah saling bersinergi guna menyiapkan strategi yang dinilai efektif dalam mengambil dampak multirateral perang dagang.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menjelaskan DPR mendorong Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko), Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan agar bersinergi untuk merumuskan kebijakan. Kebijakan ini guna mengantisipasi second round effect bagi Indonesia akibat rusaknya sistem dan mekanisme perdagangan global.
(Baca: Redam Ketegangan, Tiongkok Ingin Resolusi Damai Perang Dagang )
Kemudian DPR juga turut mendorong Kemendag untuk mengambil langkah antisipatif guna mengantisipasi melemahnya kinerja ekspor, terutama komoditas crude palm oil (CPO) yang selama ini menjadi andalan.
Selanjutnya, DPR mendorong pemerintah dan BI menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar. Hal ini merespon terjadinya fenomena perlambatan ekonomi untuk mencegah terjadinya resesi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Langkah ini guna mengatasi penarikan kembali modal dari para investor akibat dampak fluktuasi dari AS Fed Fund Rate yang juga berdampak pada nilai mata uang rupiah," tutupnya.