Jokowi Putuskan Tak Terbitkan Perppu KPK, Anggap Tak Ada Urgensinya
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan tak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Jokowi, tidak ada urgensi untuk menerbitkan Perppu KPK saat ini.
Padahal, desakan agar Jokowi menerbitakan Perppu itu deras dilayangkan berbagai elemen masyarakat. "Enggak ada (penerbitan Perppu KPK)," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9).
Jokowi mengatakan, segala masukan terkait UU KPK dari berbagai elemen masyarakat sebaiknya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebab, UU KPK bukanlah inisiatif dari pemerintah, melainkan DPR.
(Baca: Moeldoko Sebut UU KPK Direvisi karena Hambat Investasi, Faktanya Beda)
Adapun, RUU yang merupakan inisiatif pemerintah, yakni RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba. Terkait keempat RUU tersebut, Jokowi meminta agar pengesahannya ditunda.
"Agar sebaiknya masuk ke (DPR) periode berikutnya," kata Jokowi.
Menurut Jokowi, penundaan pembahasan keempat RUU itu untuk mendapatkan masukan dari masyarakat. Hal ini agar substansi keempat RUU itu sesuai keinginan publik.
Jokowi lantas menilai masukan dari masyarakat harus disampaikan pula kepada DPR. Dia meminta masyarakat untuk membawa draf materi yang dinilai perlu diubah dari keempat RUU itu.
"Itu masukan-masukan yang baik oleh masyarakat harus didengar oleh DPR," kata dia.
(Baca: Ribuan Mahasiswa Akan Demonstrasi Tolak RKUHP dan UU KPK Selama 2 Hari)
Kepala Negara mengatakan, wacana penundaan RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba akan dibahas kembali di DPR pada Selasa (23/9). Dirinya mengaku sudah meminta menteri-menteri terkait untuk menindaklanjuti wacana penundaan keempat RUU itu.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut RUU Pemasyarakatan dan RUU Pertanahan tak akan disahkan oleh DPR periode 2014-2019. Kedua RUU tersebut kemungkinan akan dialihkan pembahasannya atau carry over kepada DPR periode mendatang.
Hal tersebut sebagaimana hasil pertemuan antara pemerintah dan DPR di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9). "Sepertinya akan ke sana, carry over," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/9).
Terkait RKUHP, pemerintah memiliki keinginan untuk menunda pengesahannya oleh DPR periode ini. Hanya saja, Dewan masih ngotot membawa RKUHP untuk disahkan dalam rapat paripurna masa sekarang.
(Baca: Gerakan Mahasiswa, dari Boedi Oetomo, Reformasi, hingga Bela KPK)
Karena tak ada titik temu, pemerintah dan DPR akan melakukan forum lobi terkait pembahasan RKUHP hingga 30 September 2019. Terkait RUU KPK, Moeldoko menilai perubahan payung hukum komisi antirasuah tersebut sudah tepat.
Menurut Moeldoko, perubahan UU KPK akan mampu mempercepat proses investasi di dalam negeri. Alasannya, kata Moeldoko, keberadaan komisi antirasuah menjadi salah satu kendala dalam proses penanaman modal asing di Indonesia selama ini.
"Ada alasan lagi lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi," kata dia.
Moeldoko pun menilai RUU KPK diperlukan karena selama ini komisi antirasuah tak pernah diawasi. Dengan UU KPK baru, maka ada Dewan Pengawas yang akan melakukan fungsi monitoring terhadap KPK.
Selain itu, RUU KPK diperlukan karena selama ini komisi antirasuah tak memiliki wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Alhasil, banyak tersangka korupsi yang nasibnya terlunta akibat pengusutan kasusnya mandeg.
"Ada kasus-kasus yang dengan tidak adanya SP3, banyak orang jadi korban," kata Moeldoko.
Hal senada disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Menurut Yasonna, tak ada masalah atas disahkannya RUU KPK.
Menurut Yasonna, perubahan UU KPK itu dimaksudkan untuk memperkuat kerja pemberantasan korupsi di Indonesia. "Enggak ada keinginan pemerintah untuk melemahkan," kata Yasonna.