Periode Kedua Jokowi, YLBHI Lihat Potensi Penegakan Hukum Makin Kelam
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melihat potensi penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) semakin kelam pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Hal ini berkaca dari proses penegakan hukum oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung pada 2014-2019.
"Apabila tidak dilakukan perubahan secara kelembagaan maka penegakan hukum yang melanggar HAM akan semakin banyak terjadi dan ujungnya demokrasi Indonesia akan terus turun," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (14/10).
Ia mengatakan, masalah penegakan hukum di rezim Jokowi dapat terlihat dari maraknya kriminalisasi. Dia mencontohkan kasus yang menjerat jurnalis sekaligus pendiri WatchDoc Dandhy Dwi Laksono.
Dandhy yang kerap mengkritik pemerintah ditangkap polisi lantaran cuitannya dianggap mengandung ujaran kebencian. Dandhy sudah dibebaskan, namun dia berstatus sebagai tersangka.
Ada pula kasus yang menimpa musisi sekaligus jurnalis Ananda Badudu. Ananda ditangkap karena menggalang dana untuk membantu logistik mahasiswa dalam demonstrasi di depan gedung DPR Jakarta pada 23-25 September 2019. Ananda sudah dibebaskan tanpa status tersangka.
(Baca: Polisi Dianggap Salahi Prosedur dalam Penangkapan Dandhy dan Ananda)
Selain itu, ada kasus meninggalnya Akbar Alamsyah. Akbar merupakan seorang pemuda yang menjadi korban tewas dalam demonstrasi berbuntut rusuh di depan gedung DPR pada 25 September 2019 lalu. Akbar sempat hilang sebelum akhirnya ditemukan dalam keadaan babak belur dan koma di rumah sakit.
"Akbar bukan hanya mengalami penyiksaan yang luar biasa, ginjalnya hancur, tulang tengkoraknya hancur. Di masa koma itu, ketika dia tidak sadar, orang tuanya tak tahu di mana anaknya, tiba-tiba datang surat penetapan tersangka yang dikirim melalui JNE," kata Isnur.
Menurut Isnur, berbagai kriminalisasi itu terjadi karena tidak diterapkannya prinsip check and balance, terutama dalam penetapan tersangka oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Selain itu, Ia meragukan prinsip akuntabilitas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di rezim Jokowi.
(Baca: 14 Jurnalis Jadi Korban Saat Demonstrasi, AJI Tuntut Empat Hal)
Ia mengatakan kriminalisasi kadang disertai dengan pemaksaan tersangka untuk mengakui perbuatan tertentu. Di sisi lain, akses kuasa hukum dibatasi, baik secara waktu, informasi, maupun ketersediaan dokumen untuk kepentingan pembelaan.
"Terjadi pula praktik penunjukan penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa oleh penyidik. Hal ini sudah pasti mengganggu independensi dan objektivitas dalam melakukan pembelaan," ujarnya.
Selain persoalan-persoalan tersebut, YLBHI melihat adanya persoalan diskriminasi dalam penegakan hukum, khususnya bagi kelompok minoritas. Ini seiring pengawasan oleh Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Kejaksaan Agung terhadap aliran kepercayaan yang dianggap membahayakan masyarakat dan negara.
Kejaksaan Agung pun memiliki fungsi pengawasan ideologi di masyarakat atas nama ketenteraman dan ketertiban umum. Padahal, Isnur menilai kebebasan berpikir dan menganut suatu pandangan politik adalah hal yang dijamin oleh konstitusi, Undang-Undang HAM, dan Kovenan Hak Sipil dan Politik. "Fungsi ini membahayakan demokrasi," kata dia.
(Baca: Kontras: Status Tersangka Veronica Koman Keliru dan Ancam Aktivis HAM)
Persoalan terakhir yang disorot YLBHI yakni terhambatnya penuntasan pelanggaran HAM berat di Kejaksaan Agung. Menurut dia, Kejaksaan Agung kerap mengembalikan berkas perkara penyelisikan yang dilakukan oleh Komnas HAM, dengan alasan kurang bukti. "Padahal yang harus mencari bukti adalah Kejaksaan Agung sendiri," katanya.
Atas berbagai persoalan tersebut, YLBHI meminta agar Jokowi dapat segera mengevaluasi kembali kinerja Kepolisian dan Kejaksaan. YLBHI juga meminta Jokowi dapat memperkuat pengawasan internal dan menambah independensi pengawas eksternal.
"YLBHI juga merekomendasikan Jokowi memperbarui hukum acara pidana untuk meminimalkan penggunaan hukum sebagai alat kriminalisasi," ucapnya.