Aturan Pengamanan Produk Tekstil Tunggu Persetujuan Menkeu
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri mengatakan penerbitan aturan perlindungan produk tekstil (safeguard) menunggu persetujuan Kementerian Keuangan.
Dia pun memperkirakan aturan tersebut akan berlaku dalam waktu dekat. Pasalnya, proses kajian safeguard telah diselesaikan oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). "Prosesnya di Kemendag sudah selesai. Sekarang tinggal ditetapkan Menteri Keuangan," kata Kasan di Jakarta, Rabu (30/10).
Meski begitu, ia enggan menyebutkan besaran tarif bea masuk tersebut. Nantinya, tarif tersebut akan berlaku sementara selama 200 hari selama menunggu hasil investigasi dari KPPI. Setelah itu, safeguard akan diputuskan berdasarkan hasil investigasi KPPI dengan masa berlaku selama tiga tahun.
Sebelumnya, usulan tarif safeguard tersebut berbeda-beda besarannya, bergantung dari sektornya. Untuk sektor fiber, tarif bea masuk tambahan dikenakan 2,5%. Sedangkan kain dikenakan sebesar 7%, benang 5-6%, dan garmen 15-18%.
Penetapan tarif tersebut diperbolehkan oleh ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pasalnya, safeguard dapat diterapkan untuk melindungi pasar di dalam negeri yang mengalami kerugian.
Ikatan ahli tekstil seluruh Indonesia (Ikatsi) mengungkapkan kinerja perdagangan luar negeri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada 2018 merupakan yang terburuk sepanjang sejarah. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekspor yang jauh lebih rendah daripada impor.
Tercatat ekspor TPT tumbuh sebesar 0,9%, sedangkan impor melesat jauh sebesar 13,9%. Alhasil, pertumbuhan nilai neraca perdagangan TPT melambat 25,6% atau terendah sejak 2008.
Perlambatan kinerja neraca perdagangan tersebut dikarenakan adanya kebijakan dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Peraturan tersebut dinilai mendorong pertumbuhan impor sehingga menyebabkan surplus neraca perdagangan turun. Berikut data terkait neraca dagang tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam grafik Databoks berikut ini :
(Baca: Meski Permendag Tekstil Sudah Direvisi, Celah Impor Masih Terbuka)
KPPI pun menyelidiki impor pada delapan digit harmonized system (HS), yaitu impor kain sebanyak 107 jenis; impor benang dari serat stapel sintetik dan artifisial sebanyak enam jenis; serta produk impor tirai, kerai dalam, kelambu tempat tidur, dan barang perabot lainnya sebanyak delapan jenis.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik selama 2016—2018, volume impor kain terus meningkat dengan tren sebesar 31,80%. Pada 2016, impor kain tercatat sebesar 238.219 ton, kemudian pada 2017 naik menjadi 291.915 ton, dan terus naik menjadi 413.813 ton pada 2018.
Negara asal impor kain antara lain dari Tiongkok, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan. Volume impor kain terbesar berasal dari Tiongkok dengan pangsa impor sebesar 61,42% pada 2016, kemudian 63,61% pada 2017, dan 67,86% pada 2018.
Kemudian, volume impor benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetik dan artifisial juga mengalami peningkatan dengan tren sebesar 44,38%. Volume impor selama tiga tahun terakhir masing-masing sebesar 10.036 ton, 15.846 ton, dan 20.922 ton.
Negara asal impor antara lain Tiongkok, Thailand, Turki, Vietnam, dan India. Impor terbesar berasal dari Tiongkok, dengan pangsa impor pada 2018 sebesar 67,42%, kemudian pada 2017 sebesar 72,50%, dan pada 2016 sebesar 66,17%.
Di sisi lain, volume impor tirai, kerai dalam, kelambu tempat tidur, dan barang perabot lainnya juga meningkat dengan tren sebesar 147%. Pada 2016, volume impor produk tersebut tercatat sebesar 410 ton, kemudian 2017 melonjak 336,21% menjadi 1.788 ton, dan pada 2018 naik 39,87% menjadi 2.500 ton.
Negara asal impor produk tersebut adalah Tiongkok dan Singapura. Volume impor produk tersebut terbesar dari Tiongkok, dengan pangsa impor sebesar 60,49% pada 2016, kemudian 86,75% pada 2017, dan 90,53% pada 2018.
(Baca: KPPI Temukan Lonjakan Impor Produk Tekstil dari Tiongkok)