Teknologi Ini Pangkas Invensi Vaksin Corona dari 10 Tahun jadi 6 Bulan
Virus corona merenggut 80 korban jiwa di Tiongkok hingga pagi hari ini (27/1). Sebanyak 2.761 orang lainnya terinfeksi. Karena itu, pengembangan vaksin virus corona pun semakin mendesak.
Koalisi untuk Kesiapsiagaan dan Inovasi Epidemi (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations/CEPI) mengembangkan vaksin virus corona dengan rapid response technology. Lembaga tersebut menggelontorkan dana 15,4 juta dolar Australia atau sekitar Rp 143,6 miliar.
CEO CEPI Richard Hatchett mengatakan, patogen baru itu akan diuji klinis selama 16 minggu menggunakan teknologi biomedis tersebut. Padahal, biasanya pengembangan vaksin membutuhkan waktu 10 tahun lebih untuk penelitian, penemuan, pengujian pra-klinis, uji klinis, dan persetujuan peraturan.
Meski begitu, Richard tidak menjamin bahwa pengujian itu akan berhasil. “Tetapi kami berharap upaya ini dapat memberikan langkah maju yang signifikan dan penting dalam mengembangkan vaksin untuk penyakit ini,” kata dia dalam siaran pers, pekan lalu (23/1).
(Baca: Korban Meninggal Akibat Virus Corona Bertambah Jadi 80 Orang)
Istilah platform pada teknologi itu merupakan sistem dengan komponen dasar pada umumnya. Hanya saja, penggunaan rapid response platform ini dapat disesuaikan terhadap patogen yang berbeda sehingga bisa disematkan pada urutan genetik atau protein baru.
Berdasarkan situs resminya, CEPI mengembangkan teknologi 'RapidVac' yakni platform vaksin RNA (saRNA) yang dapat diaplikasikan secara otomatis. Mereka memproduksi vaksin untuk melawan penyakit seperti influenza (H1N1), Rabies, dan Marburg, dan lainnya.
CEPI mengklaim, teknologi itu memungkinkan produksi vaksin secara cepat dan masif. (Baca: Wabah Virus Corona, Ombudsman Minta Pekerja Tiongkok Dilarang Masuk RI)
Untuk mengembangkan vaksin nCoV-2019 tersebut, CEPI bekerja sama dengan mitra terdahulu yakni perusahaan farmasi Inovio dan Universitas Queensland. Selain itu, dengan mitra baru yaitu perusahaan bioteknologi Moderna Inc dan National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID)AS.
CEPI dan Universitas Queensland mengembangkan vaksin penjepit molekuler dengan nilai investasi US$ 10,6 juta. Cara kerja vaksin ini menyintesis protein dari virus.
Virus yang terselubung seperti influenza memiliki protein di permukaan yang melebur menjadi sel inang selama infeksi. Protein itu bersifat antigenik sehingga kebal, tetapi pada dasarnya tidak stabil.
(Baca: Kemenkes: Pasien Suspek Virus Corona di RSPI Hanya Infeksi Pernapasan)
Virus cenderung berubah bentuk ketika memproses ekspresi gen, sehingga tidak mencerminkan bentuk protein pada permukaannya. Akibatnya, respons imun—yang diinduksi dengan vaksin ini—tidak menghasilkan antibodi yang efisien mengunci virus.
Untuk itu, vaksin penjepit molekuler menyintesis protein permukaan virus, sehingga imun bisa menginduksi respons dan mengenali virus tersebut. Dengan begitu, bisa tercipta antibodi yang dapat membunuh virus itu secara cepat.
Dalam pengembangan vaksin tersebut, Moderna dan NIAID akan memproduksi vaksin mRNA untuk mengatasi virus corona. (Baca: Waspada Virus Corona, Ini Langkah Pencegahannya)