Walhi Sebut Korporasi dalam Omnibus Law Punya Keistimewaan Mirip VOC
Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menuai kritikan termasuk dari LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi, menilai RUU Cipta Kerja memberikan kedudukan istimewa kepada korporasi atau perusahaan.
Perlakuan istimewa yang diterima korporasi dalam aturan tersebut dianggap mirip keistimewaan perusahaan dagang Belanda atau VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di masa penjajahan. “Korporasi dapat dua keistimewaan yakni investasi dipermudah dan imunitas," kata Zenzi di kantor Walhi, Jakarta Selatan, Kamis (20/2).
(Baca: Omnibus Law Panen Kritik, Jokowi: Pemerintah Dengar Masukan Masyarakat)
Draf Omnibus Law tentang Cipta Kerja ini menghapus dan mengubah atau menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Dalam UU UU PPLH aturan sanksi administratif akan diberikan kepada korporasi yang setelah diputuskan oleh pemerintah dan masuk ke ranah pidana. Sementara itu, dalam draf RUU Cipta Kerja, apabila sanksi administrasi belum terpenuhi oleh perusahaan maka belum dapat dipidana.
Penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha dalam Undang-undang omnibus law dianggap bakal menjadikan hukum di Indonesia mengalami kemunduran. Padahal beberapa negara malah menerapkan pidana korporasi.
(Baca: Jokowi Ubah Aturan Lingkungan dari Izin Hutan hingga Amdal)
Draf RUU Cipta Kerja juga mencabut Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 32/2009 yang menyebutkan, izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan. Dalam aturan tersebut jika izin lingkungan dicabut, izin usaha dan atau kegiatan dibatalkan.
Dalam RUU Cipta Kerja, izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang akan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Walhi menyebut kewenangan ini membuat pemerintah semakin terpusat alias sentralistik dan kewenangan daerah ditarik.
Selain itu RUU Cipta Kerja membuat batasan administratif mengenai gugatan keberatan atas kegiatan kerusakan lingkungan. Hanya orang yang terdampak secara langsung yang dapat melaporkan kerusakan lingkungan.
"Apabila RUU ini disahkan maka izin akan serampangan tanpa dapat digugat oleh rakyat yang memiliki hak atas lingkungan," kata Zenzi.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menjelaskan dalam Omnibus Law aspek lingkungan hijau tetap akan dibahas dengan penetapan standar lingkungan yang ditetapkan pemerintah pusat.
Siti mengatakan standar lingkungan akan diatur pemerintah pusat agar pemerintah mempunyai daya paksa (enforce) untuk mempersoalkan dampak lingkungan yang rusak oleh proyek industri.
(Baca juga: KPK Sebut Hukum RI Mundur kalau Pidana Korporasi Dihapus Omnibus Law)