Menjaga Hak Karyawan Ramayana dan 1,2 Juta Korban PHK Imbas Covid-19
Pandemi virus Corona memukul telak dunia industri nasional dan membuat banyak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Kasus PHK paling baru adalah di Ramayana City Plaza Depok yang menimpa 87 karyawannya.
Melansir Detik.com, Store Manager Ramayana City Plaza Depok M Nukmal Amdar menyatakan PHK dilakukan karena manajemen memutuskan menutup total gerai. “Kita tutup operasional artinya permanen,” katanya.
Nukmal menyatakan proses PHK telah sesuai ketentuan perudang-undangan dan seluruh karyawan yang terkena mendapat pesangon.
Sementara, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat per 7 April sebanyak 74.430 perusahaan melakukan kebijakan PHK dan merumahkan pekerja/buruh. Total pekerja/buruh terdampak sebanyak 1.200.031 orang.
Hal ini disampaikan Menaker Ida Fauziah melalui keterangan resminya Rabu (8/4) lalu. Ia merinci angka tersebut ke dalam dua kategori: sektor formal dan informal. Di sektor formal, 39.977 perusahaan di sektor formal melakukan PHK dan merumahkan pekerja/buruh. Jumlah buruh terdampak dari seluruh perusahaan itu sebanyak 1.010.579 orang.
Rincian lebih lanjutnya, 873.090 pekerja/buruh dari 17.224 perusahaan dirumahkan. Lalu sebanyak 137.489 pekerja/buruh dari 22.753 perusahaan di-PHK.
Untuk sektor informal, Ida menyatakan sebanyak 34.453 perusahaan melakukan kebijakan PHK dan merumahkan pekerja/buruhnya. Total buruh terdampak sebanyak 189.452 orang.
(Baca: Sebanyak 5.047 Buruh di Jawa Barat Kena PHK Imbas Pandemi Covid-19)
Kemenaker Terbitkan Surat Edaran Perlindungan Buruh
Kemenaker, menurut Ida, telah menerbitkan Surat Edaran nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19, guna mencegah dampak pukulan pandemi Corona ke pekerja.
Melalui surat tersebut, Kemenaker meminta kepada para Gubernur di daerah untuk mengupayakan pencegahan penyebaran dan penanganan kasus terkait Covid-19 di lingkungan kerja. Terdapat 6 poin yang diminta Kemenaker: Pertama, dengan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangan di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3); Kedua, menyebarkan informasi kepada semua organisasi dan pihak terkait yang berada dalam wilayah Gubernur, Ketiga, mendata dan melaporkan kepada instansi terkait setiap kasus atau yang patut diduga kasus Covid-19.
Keempat, memerintahkan pimpinan perusahaan untuk melakukan antisipasi penyebaran Covid-19 pada pekerja/buruh dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan seperti perilaku hidup bersih dan sehat dengan mengintegrasikan program K3, pemberdayaan panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) dan optimalisasi fungsi pelayanan kesehatan kerja.
Kelima, mendorong setiap pimpinan perusahaan segera membuat rencana kesiapsiagaan dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan tujuan memperkecil risiko penularan di tempat kerja dan emnjaga kelangsungan usaha. Keenam, jika terdapat pekerja/buruh atau pengusaha berisiko, diduga atau mengalami sakit akibat Covid-19, maka dilakukan langkah-langkah penanganan sesuai stadnar kesehatan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan.
Kemenaker juga meminta agar perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkena Covid-19 dilaksanakan. Ada 4 poin teknis tentang hal ini: Pertama, bagi pekerja/buruh yang masuk kategori Orang dalam Pemantauan (ODP) berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kemenkes, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
Kedua, bagi pekerja/buruh yang menjadi suspect Covid-19 dan dikarantina/isolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi. Ketiga, bagi buruh yang positif Covid-19 dan tidak dapat masuk kerja dengan dibuktikan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Keempat, bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna mencegah dan menanggulangi Covid-19 sehingga sebagian atau seluruh buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara perusahaan dan buruh.
Menaker Ida pun meminta kepada pengusaha agar tidak gampang merumahkan dan memutus hubungan kerja pekerja/buruh selama pandemi Covid-19 berlangsung. Ia meminta pengusaha mencari cara lain, seperti pembagian jam kerja, pengurangan jam lembur serta meliburkan secara bergiliran demi memangkas ongkos produksi.
Jika terpaksa tetap PHK, Ida meminta kepada perusahaan untuk membayarkan hak buruh terdampak.
(Baca: Sri Mulyani Andalkan Pandemic Bond untuk Cegah UMKM PHK Karyawan)
Hak Buruh Jika Terkena PHK
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hak pekerja/buruh jika terkena PHK termuat dalam Pasal 61 untuk pekerja kontrak berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 156 untuk pekerja tetap berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT).
Hak buruh kontrak berdasar Pasal 61 ayat (1) jika terkena PHK adalah mendapat ganti rugi dari perusahaan sebesar upah dalam kontrak sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Sementara hak buruh tetap berdasarkan Pasal 156 ayat (1) adalah mendapat uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Perhitungan uang pesangon dalam pasal tersebut, yaitu:
- Masa kerja kurang dari 1 tahun mendapat 1 bulan upah.
- Masa kerja 1 tahun atau lebih tapi kurang dari 2 tahun mendapat 2 bulan upah.
- Masa kerja 2 tahun atau lebih tapi kurang dari 3 tahun mendapat 3 bulan upah.
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tapi kurang dari 4 tahun mendapat 4 bulan upah.
- Masa kerja 4 tahun atau lebih tapi kurang dari 5 tahun mendapat 5 bulan upah.
- Masa kerja 5 tahun atau lebih tapi kurang dari 6 tahun mendapat 6 bulan upah.
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tapi kurang dari 7 tahun mendapat 7 bulan upah.
- Masa kerja 7 tahun atau lebih tapi kurang dari 8 tahun mendapat 8 bulan upah.
- Masa kerja 8 tahun atau lebih tapi kurang dari 9 tahun mendapat 9 bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tapi kurang dari 6 tahun mendapat 2 bulan upah.
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tapi kurang dari 9 tahun mendapat 3 bulan upah.
- Masa kerja 9 tahun atau lebih tapi kurang dari 12 tahun mendapat 4 bulan upah.
- Masa kerja 12 tahun atau lebih tapi kurang dari 15 tahun mendapat 5 bulan upah.
- Masa kerja 15 tahun atau lebih tapi kurang dari 18 tahun mendapt 6 bulan upah.
- Masa kerja 18 tahun atau lebih tapi kurang dari 21 tahun mendapat 7 bulan upah.
- Masa kerja 21 tahun atau lebih tapi kurang dari 24 tahun mendapat 8 bulan upah.
- Masa kerja 24 tahun atau lebih mendapat 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
- Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima kerja.
- Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
- Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama.
Jika penghargaan yang dimaksud adalah bonus pekerjaan yang telah dijanjikan, maka sesuai Pasal 156 ayat (4) huruf (d) Juncto Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan seorang buruh berhak mendapatkannya.
(Baca: Pemerintah Bantu Pengusaha Lewat Surat Utang, Syaratnya Tak ada PHK)