Menelusuri Pangkal Perbudakan Modern di Kapal-kapal Ikan

Martha Ruth Thertina
11 Mei 2020, 19:26
Ilustrasi, siaran MBC News mengenai dugaan perbudakan terhadap awak kapal Indonesia di kapal China. Media asal Korea Selatan MBC News melaporkan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh ABK asal Indonesia, di antaranya kondisi kerja yang berat serta pe
MBC News
Ilustrasi, siaran MBC News mengenai dugaan perbudakan terhadap awak kapal Indonesia di kapal China. Media asal Korea Selatan MBC News melaporkan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh ABK asal Indonesia, di antaranya kondisi kerja yang berat serta perlakuan jenazah yang langsung dibuang ke laut.

Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO mengestimasi, 21 juta orang terjebak dalam kerja paksa, termasuk di kapal-kapal penangkapan ikan. Estimasi Itu dibuat ILO sekitar tujuh tahun lalu atau pada 2013.

Kerja paksa di atas kapal memang bukan cerita baru. Pengakuan 14 anak buah kapal asal Indonesia tentang perlakuan buruk di kapal ikan Tiongkok mengingatkan bahwa praktik buruk di tengah laut masih terus terjadi. Lantas, apa yang menyebabkan fenomena ini berkembang?

Mengutip laporan ILO bertajuk “Caught at Sea, Forced Labour and Trafficking in Fisheries” yang dirilis pada 2013, fenomena ini berkembang sebagai buntut dari permintaan ikan yang terus menanjak, sedangkan stok ikan terus turun imbas penangkapan ikan besar-besaran dan maraknya penangkapan ikan secara ilegal.

(Baca: Menteri Susi Klaim Stok Ikan Melimpah karena Penenggelaman Kapal Asing)

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian atau FAO, stok ikan yang secara biologis berkelanjutan menunjukkan tren penurunan dari 90% pada 1974 menjadi 66,9% pada 2015. Sebaliknya, persentase stok ikan yang berada di level tidak berkelanjutan secara biologis naik dari 10% pada 1974 menjadi 33,1% pada 2015, dengan kenaikan terbesar terjadi pada era 1970-1980-an.

stok ikan global
Perkembangan stok ikan global (FAO)

Akibat penurunan stok, operator perikanan skala kecil maupun industri harus pergi lebih jauh ke laut untuk memperoleh tangkapan yang besar, tak bisa hanya di pesisir. Persoalannya, penangkapan ikan jarak jauh membutuhkan infrastruktur yang lebih canggih.

Kondisi ini membuat nelayan yang sebelumnya bekerja secara mandiri di kapal kecil bergeser menjadi awak di kapal-kapal yang lebih besar. Lebih jauh, kebutuhan akan pekerja yang mau berada di laut dalam waktu panjang meningkat.

Di tengah kebutuhan ini, pekerjaan di bidang perikanan menurun di negara-negara pemodal, terutama Eropa, Amerika Utara, dan Jepang. Berbanding terbalik, jumlah nelayan membesar di negara berkembang Asia dan banyak di antaranya bekerja di kapal-kapal asing sebagai buruh migran.

Kondisi ini juga membuat kebutuhan akan tenaga murah meningkat. Ini sekaligus menjelaskan alasan penggunaan buruh migran dari negara berkembang Asia. ILO memaparkan, penangkapan ikan jarak jauh adalah pekerjaan padat karya. Porsi upah buruh dalam biaya operasi bisa berkisar 30-40%.

Dengan mempekerjakan buruh migran berupah kecil berarti biaya operasi bisa dipangkas, yang artinya margin untung yang diperoleh operator membesar dan harga ikan tangkapannya lebih kompetitif di pasar.

Mengutip artikel dalam situs lembaga non-profit di bidang kelestarian laut, Global Sea Shepherd, pada 2018 lalu: “Seiring kapal yang harus berada di laut lebih lama untuk menangkap ikan yang semakin sedikit, biaya tetap seperti bahan bakar dan alat penangkap ikan tidak bisa dinegosiasikan, konsekuensinya biaya pekerja selalu jadi yang dipangkas."

MENTERI KKP TINJAU KAPAL TANGKAPAN
MENTERI KKP TINJAU KAPAL TANGKAPAN (ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)

Di sisi lain, ILO menyatakan, kompetisi ketat kerap membuat keselamatan para nelayan dikesampingkan. Sedangkan operasi penangkapan ikan transnasional yang semakin canggih dan terorganisir membuat nelayan yang terjebak berada dalam posisi lemah.

Pada 2011, Departemen Obat-obatan dan Kriminal Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNODC, membuat studi yang menemukan tindakan kriminal yang berulang dan terorganisir oleh operator perikanan transnasional. Operator transnasional ini menggunakan yurisdiksi rahasia dan mendaftarkan kapal mereka dalam pendaftaran internasional yang terbuka untuk menghindari hukum.

Nelayan yang bekerja di kapal-kapal tersebut memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki proteksi dari risiko eksploitasi. Global Sea Shepherd menulis, penangkapan ikan skala industri yang ilegal hampir selalu terkait dengan kejahatan perikanan. Seringkali, kejahatan tersebut termasuk penyiksaan yang mengerikan terhadap pekerja.

Sederet Negara dengan Industri Perikanan yang Rentan Perbudakan

Pada 2018, yayasan non-profit asal Australia Walk Free Foundation membuat daftar 20 negara perikanan berdasarkan risikonya terhadap perbudakan modern. Ke-20 negara ini mewakili 80% dari tangkapan ikan dunia.

Yayasan tersebut menempatkan Tiongkok, Jepang, Rusia, Spanyol, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand dalam kategori high risk alias berisiko tinggi. Ini lantaran tingginya proporsi tangkapan yang diambil dari luar perairan mereka dibandingkan dengan rata-rata negara perikanan lainnya. Selain itu, besarnya tangkapan yang tidak dilaporkan dan tingginya aktivitas perikanan yang merusak.

Daftar 20 Negara Perikanan Berdasarkan Risiko Terhadap Perbudakan Modern
Daftar 20 Negara Perikanan Berdasarkan Risiko Terhadap Perbudakan Modern (Walk Free Foundation)

Sedangkan Indonesia, India, Malaysia, Chile, Meksiko, Maroko, Peru, Vietnam, dan Filipina masuk dalam kategori medium risk atau risiko menengah. Negara-negara ini cenderung menangkap ikan di perairannya sendiri, memiliki level yang rendah dalam hal penangkapan yang merusak dan nilai tangkapan, rendahnya produk domestik bruto, dan tingginya tangkapan yang tidak dilaporkan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...