UU Minerba Terbit, Pelaku Usaha Harap Aturan Pendukung Segera Dibuat
Pemerintah baru saja menerbitkan Undang-undang Nomor 3 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau UU Minerba. Pelaku usaha pun berharap pemerintah segera menyusun aturan pendukungnya.
Executive Director Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan pihaknya menyambut baik UU Minerba yang baru. Menurut dia, aturan saat ini lebih bagus dibandingkan aturan sebelumnya.
"UU ini memberikan kepastian investasi, bukan saja kepada Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), tetapi juga kepada pemegang Kontrak Karya (KK), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)," kata Hendra ke Katadata.co.id pada Rabu (17/6).
Meski begitu, dia berharap pemerintah bisa segera menyusun aturan pendukungnya. Mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen).
Apalagi, pelaku usaha sangat menanti peraturan mengenai perlakuan perpajakan bagi industri batu bara. Aturan itu sangat penting karena beberapa perusahaan pemegang PKP2B akan segera berakhir masa kontraknya.
Jika kontrak berakhir, pemegang PKP2B harus mengubah kontrak menjadi IUPK. Hal itu bakal membuat aturan perpajakannya berubah.
Oleh karena itu, Hendra berharap pemerintah bisa segera menerbitkan aturan perlakuan perpajakan bagi perusahaan batu bara. "Kami berharap itu cepat disusun dan dibahas pelaku usaha," kata dia.
Selain aturan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disebut-sebut telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara Heri Nurzaman, aturan turunan UU Minerba tengah dibahas pemerintah.
"Masih dalam proses," kata Nurzaman ke Katadata.co.id pada Kamis (18/6).
(Baca: Sudah Diteken Jokowi, Pemerintah Akhirnya Terbitkan UU Minerba)
(Baca: UU Minerba Disahkan, Arutmin Berharap Diberi Perpanjangan Kontrak)
UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara disebut-sebut memberi kepastian perpanjangan kontrak kepada perusahaan pertambangan, khususnya batu bara. Dalam beleid itu disisipkan tiga pasal yang membahas kepastian kontrak.
Pasal 169A berbunyi KK dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan. Kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi KK/PKP2B masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 tahun setelah berakhirnya KK/PKP2B dengan mempertimbangan upaya peningkatan penerimaan negara.
Pasal 169B terdiri dari beberapa ayat. Pertama, pada saat IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian diberikan, wilayah rencana pengembangan seluruh wilayah yang disetujui Menteri menjadi WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi.
Kedua, untuk memperoleh IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, pemegang KK dan PKP2B harus mengajukan permohonan kepada Menteri paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum KK dan PKP2B berakhir.
Ketiga, Menteri memberika IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dengan mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan mineral atau batu bara dalam rangka konservasi minerba dari WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi, serta kepentingan nasional.
Keempat, Menteri dapat menolak permohonan IUPK sebagai kelanjutan kontrak/perjanjian jika berdasarkan hasil evaluasi, pemegang KK dan PKP2B tidak menunjukkan kinerja pengusahaan pertambangan yang baik. Kelima, pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dapat mengajukan permohonan di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada Menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan.
Selain kepastian perpanjangan kontrak, pemerintah juga mengatur mengenai diestasi saham. Dalam Pasal 112 disebutkan bahwa badan usaha pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham sebesar 51% secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, badan usaha milik daerah, dan/atau badan usaha swasta nasional.
Kemudian, pemerintah pusat melalui Menteri dapat secara bersama-sama dnegan pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, dan/atau badan usaha milik daerah mengkoordinasikan penentuan skema divestasi dan komposisi besaran saham divestasi yang akan dibeli. Dalam hal pelaksanaan divestasi saham secara berjenjang tidak dapat terlaksana, penawaran divestasi saham dilakukan melalui bursa saham Indonesia.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan dan jangka waktu divestasi saham diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Poin penting lainnya dalam UU Minerba yaitu terkait industri hilirisasi. Dalam pasal 102 UU Minerba disebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi wajib meningkatkan nilai tambah mineral dalam kegiatan usaha pertambangan melalui, pengolahan dan pemurnian untuk komoditas tambang mineral logam; pengolahan untuk komoditas tambang mineral logam; dan/atau pengolahan untuk komoditas tambang batuan.
Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi dapat melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara. Peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian wajib memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian dengan mempertimbangkan peningkatan nilai ekonomi dan kebutuhan pasar.
(Baca: Polemik RUU Minerba dan Angin Segar bagi Pengusaha Batu Bara)