Tersandung Jiwasraya, Ini Jejak Benny Tjokro di Puluhan Perusahaan

Martha Ruth Thertina
14 Januari 2020, 21:19
Benny Tjokro, Jiwasraya, Korupsi Jiwasraya, Kasus Jiwasraya, Asabri
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Komisaris PT Hanson International Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro berjalan meninggalkan gedung bundar Kejaksaan Agung usai diperiksa sebagai saksi di Jakarta, Senin (6/1/2020).

Kejaksaan Agung menahan lima orang termasuk Benny Tjokrosaputro alias Bentjok dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan investasi Jiwasraya. Di pasar modal, Bentjok bukan sosok asing. Dia merupakan pemegang saham sekaligus petinggi di dua perusahaan terbuka, yang harga sahamnya kini nyaris tak bernilai: Hanson International (MYRX) yang merupakan induk dari puluhan perusahaan, dan Sinergi Megah Internusa (NUSA). 

Bentjok yang merupakan cucu dari pendiri Batik Keris tersebut adalah pendiri Hanson. Tahun lalu, ia mengambil alih posisi Direktur Utama Hanson di tengah skandal penghimpunan dana ilegal bernilai Rp 2,4 triliun. Hanson -- perusahaan tekstil yang bersalin rupa menjadi perusahaan properti -- memegang 99,99% saham Mandiri Mega Jaya (MMJ). MMJ tercatat memiliki 16 anak usaha dan tujuh cucu usaha.

(Baca: Ini Profil Heru Hidayat, Bersama Benny Tjokro Jadi Tersangka Jiwasraya)

Saat ini, saham Hanson nyangkut di harga terendah Rp 50 per lembar. Jiwasraya disebut-sebut terdampak oleh kejatuhan saham Hanson. Begitu juga dengan perusahaan asuransi angkatan bersenjata, Asabri. Saat ini, Asabri memegang 4,68 miliar lembar saham Hanson atau 5,4% porsi kepemilikan, lebih besar dari Bentjok yang memegang 4,25%.

Katadata.co.id sempat menanyakan Bentjok soal dugaan kongkalikong jatuhnya saham Hanson. Namun, pria kelahiran Surakarta, setengah abad silam ini membantah hal tersebut. “Enggak ada tuh, saham Hanson jatuh karena viral,” ujarnya, pekan lalu. Berita viral yang dimaksud terkait penghimpunan dana secara ilegal.

(Baca: Karier Panjang Hendrisman Rahim di Asuransi Berakhir di Kejaksaan)

Cucu usaha Hanson di bawah MMJ, Armidian Karyautama (ARMY), juga tercatat sebagai perusahaan terbuka. Perdagangan sahamnya kini tengah dihentikan karena mengalami akumulasi penurunan yang signifikan. Harga saham ARMY juga nyangkut di angka Rp 50 per lembar saham.

Sedangkan di Sinergi Megah Internusa, Bentjok tercatat sebagai pemegang 9,7% saham, dan berstatus Komisaris Utama. Saham perusahaan tercatat nyangkut di harga Rp 50 per lembar, nyaris bersamaan dengan kejatuhan saham Hanson ke level itu, mulai November tahun lalu.

Berdasarkan data Bloomberg -- selain Hanson International dan Sinergi Megah Internusa -- Bentjok tercatat pernah memegang posisi Komisaris Utama di Rukun Raharja, Bumi Teknokultura Unggul, dan Hanson Industri Utama.

Terkait Jiwasraya, Kuasa Hukum Bentjok Muchtar Arifin pernah membantah kliennya punya andil dalam membawa tekanan finansial ke perusahaan tersebut. “Benny pernah melakukan pinjaman MTN dan sudah selesai tepat waktu pada 2016 atau setahun kemudian,” ujarnya.

Seperti halnya Bentjok, ia juga membantah adanya permainan terkait kejatuhan saham Hanson. Menurut dia, jika Jiwasraya mengalami kerugian investasi di saham tersebut maka itu merupakan tanggung jawab manajemennya. Namun, Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan Bentjok sebagai tersangka, usai melakukan pemeriksaan terhadap dia pada Selasa ini, 14 Januari 2020.

(Baca: Pengacara Pertanyakan Alat Bukti Kejaksaan untuk Jerat Benny Tjokro)

Jejak Bentjok di Asabri

Bentjok pernah disorot Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan audit kinerja pengelolaan investasi Asabri tahun buku 2015 dan semester I 2016. Ini terkait kesepakatan pembelian saham Harvest Time, anak usaha Mandiri Mega Jaya (MMJ), oleh Asabri. BPK menemukan sederet kejanggalan, termasuk harga yang tidak wajar.

Kesepakatan tersebut berujung batal, dan diklaim tidak menyebabkan kerugian. “Harvest sudah dijual kembali dan tidak rugi,” kata Bentjok melalui pesan singkat kepada katadata.co.id, pekan lalu. Namun, dalam laporannya, BPK menyebut ada potensi kerugian minimal Asabri Rp 637 miliar alias lebih dari setengah triliun. 

Berdasarkan pemaparan BPK, Asabri menandatangani MoU untuk pembelian 18% saham Harvest Time seharga Rp 1,2 triliun pada November 2015. Ketika itu, mayoritas saham Harvest Time yaitu 77% dipegang oleh MMJ, anak usaha Hanson International yang didirikan Bentjok. Sisanya, saham dipegang Wiracipta Senasatria, dan beberapa pemegang saham lain.

(Baca: Menelusuri Investasi Asabri yang Terpuruk di Saham Gorengan)

Dari penjelasan direksi Asabri dalam laporan BPK, kesepakatan pembelian saham Harvest Time tersebut sebetulnya adalah transaksi penukaran saham. Saham-saham Asabri yang tengah dalam posisi rugi “dibeli” oleh Bentjok dengan saham Harvest Time. Tujuannya, restrukturisasi untuk mencapai target hasil investasi 2015.

Restrukturisasi dengan cara mengalihkan investasi ke saham perusahaan non-listed  tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa harga sahamnya tidak fluktuatif. Ini berbeda dengan saham perusahaan listed yang cenderung tertekan di tengah pasar modal yang tengah turun.

Kesepakatan tersebut dipermasalahkan BPK karena beberapa hal. Pertama, Asabri tidak menunjuk konsultan independen untuk melakukan due dilligence dan feasibility study dalam rangka pembelian saham tersebut.

Kedua, MoU pembelian saham yang ditandatangani oleh Bentjok dengan Direktur Utama Asabri tersebut ternyata bukan dalam rangka pembelian saham Harvest Time yang dipegang oleh MMJ, melainkan yang dipegang PT WCS – diduga merujuk pada Wiracipta Senasatria.

Ini jadi persoalan karena kepemilikan saham PT WCS di Harvest Time tidak sebesar persentase yang diperjanjikan dalam MoU yakni 18%. BPK mencatat, PT WCS hanya memiliki 13% saham Harvest Time saat MoU ditandatangani pada 4 November 2015. Nilai saham tersebut pun hanya Rp 91,65 miliar.

Dalam catatan BPK, nilai 100% saham Harvest Time ketika itu hanya Rp 705 miliar. Atas dasar itu, BPK menyatakan, "Jual beli saham PT HT yang dimiliki PT WCS dengan persentase sebesar 18% tidak menunjukkan kondisi sebenarnya serta nilai yang disepakati tidak wajar." 

Meski begitu, BPK menemukan, Asabri tetap melakukan transfer uang muka kepada PT WCS yaitu sebesar Rp 802 miliar. Bahkan, transfer tetap dilakukan, meskipun saham milik PT WCS nyatanya tidak pernah diterima karena telah dijual ke pihak lain. BPK juga menemukan pembayaran tersebut tidak tercatat dalam laporan keuangan 2015 yang sudah diaudit.

Asabri mengakui pembelian saham tersebut tidak melalui proses due diligence atau feasibility study. Perusahaan menyatakan tidak memperhatikan bahwa berdasarkan MoU, saham yang disepakati untuk dibeli adalah milik PT WCS. Penyebabnya, perusahaan hanya melihat figur Bentjok sebagai pemegang saham pengendali Harvest Time. Perusahaan juga baru mengetahui bahwa PT WCS telah menjual kepemilikan saham-nya ke pihak lain.

Lebih lanjut, perusahaan menyatakan kesepakatan tersebut telah dibatalkan, karena Asabri menyadari pembelian saham Harvest Time yang statusnya bukan perusahaan terbuka, berisiko tinggi. Perusahaan pun meminta pengembalian dana investasi sebesar Rp 832 miliar kepada Bentjok -- Rp 802 miliar pokok dan Rp 30 miliar bunga.

Bentjok dan Asabri menyepakati pengembalian dana secara tunai sebesar Rp 100 miliar, dan sisanya Rp 732 miliar dengan kavling tanah siap bangun. Namun, dari pemaparan BPK, skemanya tak sesederhana itu. BPK juga menyebut pembelian tanah tak sesuai aturan investasi asuransi, dan berpotensi merugikan Asabri.

Sesuai kesepakatan, Asabri membeli dulu kavling tanah dari anak usaha Hanson International sebesar Rp 732 miliar. Setelah pembelian tanah tersebut, PT WCS melunasi dana investasi Asabri sebesar Rp 832 miliar. Selanjutnya, kavling tanah milik Asabri dijual secara bertahap kepada pihak lain atau dibeli kembali (buy back) oleh Hanson.

Namun, BPK menemukan bahwa kavling tanah ternyata masih merupakan agunan bank. Alhasil, BPK menyatakan, Asabri berpotensi mengalami kerugian minimal Rp 637 miliar atas tanah yang belum laku terjual. Hitungan potensi kerugian minimal tersebut dengan mempertimbangkan bahwa Asabri sudah menerima transfer hasil penjualan tanah yaitu sebesar Rp 94,9 miliar. Tanah tersebut dijual kepada anak usaha Hanson Internasional lainnya yaitu PT RBS.

Dalam rekomendasinya, BPK di antaranya meminta Direktur Utama Asabri untuk meminta Direktur Investasi dan Keuangan, Kadiv Investasi, dan Kadiv Pengembangan Usaha untuk mendapatkan seluruh sertifikat dari tanah yang dimaksud. Caranya, meminta Bentjok untuk menyelesaikan kewajiban kepada bank. Atau, meminta Bentjok membeli tanah tersisa dalam waktu enam bulan.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...