Okupansi Rendah, Pengusaha Hotel Menjerit Biaya Protokol Kesehatan
Pemerintah kembali mengizinkan sektor usaha, termasuk perhotelan dan pariwisata kembali beroperasi di tengah penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Namun, operasional tersebut juga harus diikuti dengan penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus Covid-19 masyarakat.
Adanya syarat wajib penerarapan protokol kesehatan tersebut diakui membebani pelaku usaha. Terlebih, tingkat okupansi hotel saat ini masih rendah, sehingga syarat tersebut dinilai memberatkan.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Sutrisno Iwantono mengatakan, dalam menjalankan operasionalnya seluruh karyawan diwajibkan melakukan tes cepat atau rapid test setiap dua pekan sekali.
(Baca: Pengusaha Hotel Keluhkan Tak Ada Subsidi Listrik bagi Industri)
Tes ini, menurutnya menelan biaya yang tak sedikit. Untuk sekali pengetesan, biaya yang perlu dikeluarkan perusahaan sebesar Rp 300.000 - Rp 550.000 per orang. Oleh sebab itu, dia menilai aturan ini merugikan, khususnya bagi pemilik hotel kelas menengah ke bawah.
"Hotel kecil non bintang yang pendapatannya sekarang kalau laku lima kamar sehari sudah hebat, jadi untuk rapid tes saja sudah tidak mungkin dilakukan," kata dia dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (24/6).
Tak hanya itu, Sutrisno juga menyebut pengadaan barang-barang sekali pakai seperti masker, hand sanitizer juga dirasa sangat membebani pemilik hotel.
Kondisi ini kian berat lantaran ada ancaman sanksi yang diterapkan pemerintah bila pengusaha hotel tidak mematuhi atau menerapkan protokol kesehatan. Sehingga pengusaha tak memiliki pilihan lain.
Kendati merugi, operasional hotel atau restoran menurutnya harus tetap berjalan untuk menjaga aset-aset elektronik maupun kelistrikan agar tidak rusak. Sebab, jika terjadi kerusakan, pihak hotel atau restoran akan semakin merugi tanpa memperoleh bantuan dari pemerintah.