Mengenal Suku Minang asli Sumatera Barat
Mengenal Suku Minang, Suku Asli Provinsi Sumatera Barat
Suku Minangkabau atau suku Minang asli berasal dari provinsi Sumatera Barat. Cerita rakyatnya yang melegenda membuat suku Minang juga dikenal luas di Indonesia.
Berdasarkan hasil sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik pada 2010, suku Minagkabau berada di urutan ketujuh suku dengan populasi terbanyak di Indonesia. Terdapat lebih dari enam juta suku Minang yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air.
Suku ini sebagian besar tinggal di tanah asalnya, yakni Sumatera Barat dengan Padang sebagai ibu kota provinsi. Penduduk Sumatera Barat berjumlah 4,8 juta jiwa ini didominasi masyarakat beretnis Minang, karena itu wajar saja jika Sumatra Barat dikenal lewat suku Minangkabau.
Sejarah
Sejarah Sumatera Barat bermula pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting di ranah Minang. Dia tidak ingin disebut sebagai Raja, meskipun sempat memerintah di wilayah Pagaruyung, daerah pusat kerajaan Minangkabau.
Adityawarman adalah Raja yang berjasa memberi sumbangsih bagi alam Minangkabau. Selain itu, Adityawarman juga orang pertama yang memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat.
Sejak pemerintahan Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke-17, provinsi ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Hubungan dengan Aceh kian intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, kemudian berkembang nilai baru dan menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat.
Agama Islam sebagai nilai baru tersebut berkembang di kalangan masyarakat dan berangsur-angsur mendominasi masyarakat Minangkabau, yang sebelumnya didominasi agama Buddha.
Selain itu, sebagian kawasan di Sumatera Barat seperti pesisir pantai barat masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Pagaruyung, sampai kemudian menjadi bagian dari kesultanan Aceh.
Minangkabau sendiri merupakan salah satu desa yang berada di kawasan Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut awalnya merupakan tanah lapang, namun karena isu yang berkembang bahwa Kerajaan Pagaruyung akan di serang oleh kerajaan Majapahit dari Provinsi Jawa, maka terjadilah peristiwa adu kerbau atas usul kedua belah pihak.
Kerbau tersebut mewakili peperangan kedua kerajaan. Karena kerbau Minang berhasil memenangkan perkelahian maka muncul kata manang kabau yang selanjutnya dijadikan nama nagari atau desa tersebut.
Sebagai upaya mengenang peristiwa bersejarah tersebut, penduduk Pagaruyung mendirikan sebuah rumah loteng (rangkiang) di mana atapnya mengikuti bentuk tanduk kerbau.
Menurut sejarah, rumah tersebut didirikan di batas tempat bertemunya pasukan Majapahit yang dijamu dengan hormat oleh wanita cantik Pagaruyung. Masyarakat saat itu umumnya hidup dengan cara berdagang, bertani sawah, mengelola hasil hutan dan berkembang hingga pertambangan emas.
Beberapa pernyataan juga muncul kalau masyarakat cenderung menjadikan kerbau sebagai bagian alat transportasi untuk menelusuri dataran tinggi Minangkabau. Hewat tersebut dipilih karena agama yang
dipercaya waktu itu mengajarkan untuk menyayangi binatang seperti gajah, kerbau, dan lembu.
Selain itu, arkeolog juga menyatakan kalau kawasan Minangkabau yaitu kabupaten Lima Puluh Kota merupakan daerah pertama yang dihuni nenek moyang orang Minang. Di daerah tersebut mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana transportasi zaman dulu.
Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan berlayar melalui rute tersebut, dan sebagian diantaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima Puluh Kota tersebut.
Terbukanya provinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para pendatang. Jumlah pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah menyebabkan persebaran penduduk Sumatera Barat kian meluas, baik dari ke selatan dan sebagian ke bagian barat Sumatera.
Jatuhnya kerajaan Pagaruyung dan terlibatnya negara Belanda di Perang Padri, menjadikan daerah pedalaman Minangkabau menjadi bagian dari Pax Nederlandica oleh pemerintah Hindia Belanda. Itu merupakan upaya politik kolonial Belanda untuk menyatukan wilayah-wilayah jajahan Belanda di Nusantara dengan pendekatan dan perjanjian militer.
Selanjutnya, Minangkabau dibagi menjadi Residentie Padangsche Bovenlanden serta Benedenlanden. Pada zaman VOC, Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust merupakan sebutan untuk wilayah pesisir barat Sumatera.
Hingga abad ke-18, Provinsi Sumatera Barat semakin terkena pengaruh politik dan ekonomi, mencakup daerah pantai barat Sumatera. Mengikuti perkembangan administratif pemerintahan Belanda, kawasan itu juga masuk dalam pemerintahan Sumatra's Westkust dan di ekspansi lagi menggabungkan Singkil dan Tapanuli.
Kebudayaan Suku Minangkabau
1. Pakaian Adat Suku Minangkabau
Suku Minang memiliki sejumlah pakaian adat tradisional yang memiliki filosofi masing-masing.
- Pakaian Adat Bundo Kanduang
Pakaian Limpapeh Rumah Nan Gadang atau sering pula disebut pakaian Bundo Kanduang, merupakan lambang kebesaran bagi para wanita yang telah menikah. Pakaian tersebut merupakan simbol dari pentingnya peran seorang ibu dalam sebuah keluarga. Limapeh sendiri merupakan tiang tengah dari bangunan rumah adat Sumatera Barat.
- Baju Tradisional Pria Minangkabau Pakaian Adat Sumatera Barat
Pakaian tradisional untuk para pria suku Minang bernama pakaian penghulu. Sesuai namanya, pakaian ini hanya digunakan oleh tetua adat atau orang tertentu, di mana dalam cara pemakaiannya pun di atur sedemikian rupa oleh hukum adat.
Pakaian ini terdiri atas beberapa kelengkapan seperti deta, baju hitam, sarawa, sesamping, cawek, sandang, keris, dan tungkek.
- Pakaian Adat Pengantin
Selain baju bundo kanduang dan baju penghulu, ada pula jenis pakaian adat Sumatera Barat lainnya yang umum dikenakan oleh para pengantin dalam upacara pernikahan. Pakaian pengantin ini lazimnya berwarna merah dengan tutup kepala dan hiasan yang lebih banyak. Hingga kini, pakaian tersebut masih kerap digunakan, tapi sedikit tambahan modernisasi dengan gaya atau desain yang lebih unik.
2. Rumah Adat Suku Minang
Ciri khas suku Minang adalah rumah adatnya yang dikenal sebagai rumah gadang. Bangunan rumah tradisional Minang ini merupakan ikon yang melekat dengan masyarakat Minang.
Rumah Gadang adalah rumah adat suku Minangkabau yang juga dikenal dengan berbagai nama seperti Godang, rumah Bagonjong, dan rumah Baanjuang. Rumah model panggung ini berukuran besar dengan bentuk persegi panjang.
Sama seperti rumah adat Indonesia lainnya, rumah gadang juga dibuat dari material yang berasal dari alam. Tiang penyangga, dinding, dan lantai terbuat dari papan kayu dan bambu, sementara atapnya yang berbentuk seperti tanduk kerbau terbuat dari ijuk. Meski hampir 100% terbuat dari bahan alam, arsitektur rumah gadang memiliki desain kuat.
3. Adat Istiadat Suku Minang
Ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya adat istiadat suku Minang. Ketiga pilar tersebut adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak. Tiga pilar ini juga dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan.
Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan corak egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu dengan cara mufakat. Adat dan budaya suku Minang bergantung pada tiga pilar tersebut.