Kisah Jembatan Ancol, Si Manis yang Tidak Berakhir Seperti Namanya
Pada zaman dahulu Ancol pernah terkenal sebagai tempat berkumpulnya para pria hidung belang dan wanita tuna susila. Nama Ancol terpatri sebagai untuk tempat maksiat sudah sejak zaman dahulu. Dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi (2004) oleh Alwi Shahab, kisah yang populer saat itu menceritakan tentang seorang playboy kaya raya dan sejumlah warga kaya lainnya. Mereka sering bersenang-senang di Kawasan Ancol ini.
Mereka juga memiliki semacam rumah bordil yang dikenal dengan nama soehian atau tempat berpesiar dengan para harem. Dikisahkan pada awal abad ke-19, sekitar tahun 1817 ada seorang gadis yatim bernama Siti Ariah yang hidup bersama ibunya, Mak Emper. Keduanya hidup di suatu paviliun milik seorang juragan kaya di Batavia.
Pada umur 16 tahun, sang juragan pemilik rumah mulai jatuh cinta dengan Ariah. Tetapi Ariah menolak dijadikan selir lalu melarikan diri. Nahas setelah melarikan diri ini, dirinya malah bertemu dengan playboy pemilik rumah bordil ini.
Melihat paras cantik Ariah, ia lantas tergoda dan ingin menjadikannya sebagai "koleksinya". Perempuan ini lalu kembali melarikan diri, tetapi kemudian ditangkap oleh dua preman utusan rumah bordil tersebut. Ariah kemudian menemui ajal di Bendungan Dempet dekat Danau Sunter, jenazahnya lalu dibuang sekitar 400 meter dari Jembatan Ancol.
Konon, Ariah menjadi arwah gentayangan karena ingin memberitahukan keberadaannya kepada ibunya. Sementara sang pemilik rumah bordil ini akhirnya meninggal dengan cara digantung oleh Belanda di Taman Fatahillah Jakarta. Kepopuleran kisah Jembatan Ancol yang mengandung mistis ini mencapai puncaknya pada 1980-an.
Bahkan saat itu hampir tidak ada sopir kendaraan yang berani lewat. Sampai akhirnya para pengemudi yang hendak melewati jembatan ini harus memberi kode seperti membunyikan klakson atau menyalakan lampu sein. Sejak saat itu kisah si manis Jembatan Ancol menjadi urband legend di masyarakat.