Pemerintah Masih Kurang Bayar Subsidi Energi Rp 6,2 triliun
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memeriksa perhitungan subsidi energi untuk tahun 2017. Hasil temuannya yakni pemerintah masih kurang membayar subsidi untuk tiga perusahaan yang selama ini menyalurkan subsidi energi dengan total Rp 6,241Triliun.
Ketiga perusahaa itu yakni PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), dan PT AKR Corporindo Tbk. Itu mengacu Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) semester I 2018.
Untuk PLN, pemerintah masih kurang membayar Rp 363 miliar. Sebenarnya, PLN mengajukan subsidi Rp 47,862 triliun. Namun, setelah diaudit ternyata kewajibannya hanya Rp 45,738 triliun. Dari kewajiban itu, pemerintah sudah membayar Rp 45,375 triliun.
Kemudian ada kekurangan bayar dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar dan minyak tanah ke Pertamina dan AKR Corporindo. Totalnya, Rp 864,15 miliar. Ini dari total kewajiban Rp 9,161 triliun. Sebelumnya, kedua perusahaan itu mengajukan subsidi Rp 9,163 triliun.
Hasil audit tersebut tidak merinci berapa kekurangan untuk Pertamina dan AKR Corporindo. Yang jelas, kebijakan menahan harga Solar di tengah kenaikan harga minyak mentah membuat pendapatan Pertamina berkurang Rp 26,30 triliun. Sedangkan pendapatan AKR Corporindo berkurang Rp 259,03 miliar.
Pemerintah juga masih memiliki tunggakan pembayaran subsidi untuk elpiji yang disalurkan Pertamina. Jumlahnya, Rp 5,014 triliun. Kewajiban pemerintah seharusnya Rp 43,763 triliun. Awalnya, yang diajukan Rp 43,853 triliun.
Secara total, pemerintah harus membayar subsidi energi sebesar Rp 98,663 triliun di tahun 2017. Yang telah membayar 92,421 triliun. "Pemeriksaan atas pengelolaan subsidi secara umum bertujuan untuk menilai kewajaran perhitungan nilai subsidi yang layak dibayar oleh pemerintah serta menilai apakah pelaksanaan subsidi telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," mengutip IHPS BPK Semester I 2018, Selasa (2/10).
Tak hanya itu, dalam IHPS tersebut BPK juga menyoroti kinerja Pertamina dalam menyalurkan subsidi BBM, minyak tanah, dan elpiji 3 kg. Selain itu, kinerja AKR dalam menyalurkan Solar yang dinilai belum berjalan optimal.
Ada empat hal yang disoroti BPK. Pertama, beberapa agen di Provinsi Maluku menyalurkan minyak tanah melebihi volume kontrak yang telah ditetapkan. Kedua, 675 SPBU di wilayah Marketing Operation Region (MOR) V Pertamina belum berbentuk Perseroan Terbatas. Ketiga, Penyaluran JBT yang dilakukan AKR, yakni Akra Sol kepada kapal nelayan dilakukan secara tidak wajar karena BBM yang disalurkan melebihi kapasitas tangki BBM kapal. Keempat, Sarana dan fasilitas pada 194 agen LPG di wilayah MOR I-VII belum sepenuhnya sesuai dengan standar Pertamina.
(Baca: Jonan Prediksi Subsidi Energi Melonjak Hingga Akhir Tahun)
BPK juga menyoroti PLN yang dinilai lemah dalam Sistem Pengendalian Intern yang membebani keuangan. BPK menjelaskan dalam hal ini, nilai biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik untuk sebagian golongan tarif nonsubsidi tahun 2017 lebih tinggi dari tarif jualnya dan membebani PT PLN senilai Rp7,46 triliun pada tahun 2017. Kemudian, PT PLN juga dinilai kurang tertib menatausahakan aset tetap yang beroperasi/ tidak beroperasi, yang berakibat peningkatan penghitungan beban penyusutan BPP subsidi listrik.
Untuk itu BPK merekomendasikan kepada direksi perusahaan PLN, Pertamina dan AKR agar mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepada rekanan/ agen penyalur JBT, minyak tanah, LPG tabung 3 kg dan pupuk bersubsidiyang tidak mematuhi kontrak. Selain itu meminta kepada Menteri ESDM dan Menteri Keuangan untuk menyikapi tarif di luar subsidi yang membebani PLN sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan melakukan koreksi atas perhitungan subsidi energi.
