Soal Dana ASR, Investor Ingatkan Pemerintah Posisi Kontrak
Investor meminta pemerintah mengetahui posisi kontrak hulu minyak dan gas bumi/migas dalam peraturan yang ada di Indonesia. Ini terkait dengan pungutan dana pemulihan tambang (Abandonment Site and Restoration/ASR) yang diwajibkan meski tidak ada di dalam kontrak.
Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin mengatakan kontrak itu sederajat dengan Undang-undang (UU). Sedangkan kewajiban dana ASR diatur Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM Nomor 15 tahun 2018.
Kedudukan kontrak itulah yang harus dimengerti pemerintah. “Perlu diketahui. Di dalam dunia hukum, kontrak itu sederajat dengan Undang-undang bahkan di atas PP. Namun di Indonesia ini banyak yang tidak mengerti itu” ujar Moshe kepada Katadata.co.id, Senin (5/3).
Moshe juga menilai pemerintah tidak adil ketika menerapkan dana ASR meski kontrak tidak mewajibkan itu. Alasannya, sebelum menandatangani kontrak, investor akan menghitung keekonomian proyek terlebih dulu.
Jadi, kewajiban baru mengenai ASR itu akan mempengaruhi keekonomian lapangan. “Sebenarnya tidak fair dari pihak pemerintah, karena biaya ini tidak diperhitungkan sebelum kontrak diteken,” ujar dia.
Atas dasar itu, Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2018 ini berpotensi memunculkan dispute (perselisihan) jika kontraktor keberatan. Namun, biasanya kontraktor biasanya akan memohon pertimbangan kembali.
Menurut Moshe, sebaiknya kewajiban ASR itu diterapkan bagi kontrak baru. Sehingga kontraktor bisa memasukkan variabel itu di awal menghitung keekonomian proyek. Pemerintah juga harus menghormati kontrak lama sampai berakhir untuk mewajibkan ASR.
Sementara itu, pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto setuju jika kontraktor wajib melakukan kegiatan pemulihan pascatambang. Bahkan semestinya itu dituangkan ke dalam kontrak.
Namun, Pri juga memiliki catatan dengan terbitnya Peraturan Menteri Nomor 15 tahun 2018 yang mengatur tata cara sampai keharusan menyetor dana ASR. Terbitnya aturan itu cermin jika pemerintah mencampuri aspek operasional ke hal yang mikro. Hal ini tentu berpotensi mencipatakan masalah-masalah baru.
Masalah yang bisa muncul misalnya mengenai transparansi dan akuntabilitas dari pencadangan dana tersebut. “Siapa yang dapat mengawasinya,” ujar Pri.
Pri juga mempertanyakan kewenangan pengelolaan dana ASR yang berada di Direktorat Jenderal Migas bukan SKK Migas. Padahal masalah operasional dalam kontrak dan kegiatan hulu migas seharusnya pengendaliannya ada di SKK Migas.
Untuk itu, Pri lebih sepakat jika Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2018 hanya mengatur kewajiban kontraktor melakukan kegiatan pemulihan pascaoperasi. Kewajiban itu harus masuk ke dalam kontrak, baik yang lama maupun baru. “Tetapi bagaimana teknisnya, itu ada di level kontrak, bukan di peraturan menteri ini,” ujar dia.
(Baca: Aturan Baru, Investor Wajib Bayar Dana ASR Meski Tak Ada di Kontrak)
Seperti diketahui, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2018 dan berlaku 23 Februari 2018. Pasal 21 menyebutkan, kontraktor wajib menyediakan dana ASR meskipun kontraknya belum mengatur itu.