Aturan Pajak Gross Split Dinilai Tak Akan Istimewa Bagi Investor
Pemerintah saat ini tengah memfinalisasi aturan mengenai pajak skema kontrak bagi hasil gross split. Namun, menurut pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, aturan tersebut tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kontraktor.
Pri menilai aturan pajak gross split tetap akan mengikuti ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku saat ini. “Jadi, tidak ada yang istimewa dan memang tidak mungkin juga industri hulu migas akan mendapat perlakuan pajak istimewa dengan kerangka pengelolaan hulu migas saat ini,” kata dia kepada Katadata, Kamis (23/11).
Selain itu, secara filosofi kontrak gross split tidak bisa menghindarkan kontraktor dari pajak tidak langsung. Artinya kontraktor tetap membayar terlebih dulu, meskipun nantinya akan dikompensasikan dengan tambahan bagi hasil. Dalam hal ini, pemungutan pajak tidak langsung akan menjadi disinsentif bagi investasi dan menimbulkan ketidakpastian di dalam operasionalnya.
Sebelumnya, pemerintah memang akan memberikan insentif berupa konversi pajak yang sudah dibayarkan menjadi tambahan bagi hasil. Insentif lainnya adalah pemberian kompensasi pajak (tax loss carry forward) selama 10 tahun.
Namun, Pri Agung mempertanyakan implementasi dari insentif tersebut. Apalagi pajak dan bagi hasil merupakan dua hal yang berbeda dan tidak saling berhubungan langsung. “Bagaimana hitungan detailnya nanti di dalam operasional. Indirect taxes setiap tahun bisa berbeda, apa split-nya setiap saat juga berubah,” ujar dia.
Mengenai tax loss carry forward selama 10 tahun, Pri memberikan respon positif. Namun efektivitas aturan itu masih perlu ditunggu dalam realisasinya. Apalagi dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh), tax loss carry forward hanya 5 tahun. Sementara aturan pajak gross split hanya berupa Peraturan Pemerintah yang lebih rendah dibandingkan UU.
(Baca: Pemerintah Beri Dua Insentif Pajak Baru untuk Skema Gross Split)
Untuk mengatasi masalah perpajakan hulu migas, menurut Pri Agung, filosofi dasar yang perlu diubah. Dalam skema kontrak bagi hasil yang benar, seharusnya kontraktor berkontrak dengan badan usaha sebagai wakil negara.
Dengan skema kontrak itu, maka bisa diterapkan assume and discharge. Artinya, semua pajak yang tidak menjadi kewajiban kontraktor tidak dikenakan dan tidak harus dibayarkan.
Namun, sejak berlakunya Undang-undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 tahun 2001, kontraktor berkontrak dengan badan pemerintah, yang kini bernama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Sehingga kontraktor menjadi obyek pajak tidak langsung dan membayarnya terlebih dulu.
“Ini yang berkali-kali saya katakan, penyelesaiannya harus dengan revisi Undang-undang migas. Revisi itu dengan mengubah pihak yang berkontrak mewakili indonesia menjadi berbentuk badan usaha,” ujar Pri.