Arcandra Soroti Hambatan Izin Migas di Kementerian LHK
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar melihat salah satu kendala investasi minyak dan gas bumi (migas), khususnya di sektor hulu, adalah perizinan. Salah satunya adalah izin pembebasan lahan yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Agar dapat beroperasi di sektor hulu migas, kontraktor memerlukan perizinan seperti Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) di Kementerian LHK. Padahal, menurut Arcandra, pejabat LHK belum tentu mengerti operasional migas. “Jadi ada gap di situ yaitu pengetahuan,” kata dia saat mengadakan sosialisasi aturan gross split di kantor SKK Migas, Jakarta, Senin (8/5).
(Baca: Kementerian ESDM Percepat Izin Migas Maksimal 15 Hari)
Untuk mengatasi persoalan itu, Arcandra sudah berbicara dengan Menteri LHK Siti Nurbaya. Solusinya, mereka akan menggelar lokakarya (workshop) di Kementerian LHK. Harapannya, Kementerian LHK bisa mengerti soal migas dan akan mempermudah proses perizinan.
''Ini masih menjadi kendala, kami mau sewaktu blok ditawarkan semua izin sudah beres. Itu cita-cita saya,'' kata dia.
Demi mempermudah proses birokrasi, pemerintah juga sudah menerbitkan aturan mengenai gross split. Skema ini bisa memotong jalur perizinan ketika melakukan pengadaan barang dan jasa.
Dengan gross split, kontraktor bisa melakukan pengadaan barang dan jasa sendiri. Jadi, tidak perlu lagi melalui SKK Migas seperti skema kontrak bagi hasil konvensional. Skema ini bisa menghemat waktu 2-3 tahun mulai dari tahapan desain awal (pre front end engineering design/FEED) hingga berproduksi.
(Baca: Klaim Pemerintah Soal Efisiensi Gross Split Migas Dipertanyakan)
Efisiensi waktu dengan metode gross split ini berdasarkan kajian yang dilakukan Kementerian ESDM terhadap 10 blok migas besar di Indonesia. Hasilnya, Blok Tangguh Train 3 bisa lebih cepat menjadi 83 bulan dari sebelumnya 105 bulan. Adapun, Blok Cepu Banyu Urip dari 152 bulan menjadi 120 bulan dan Blok Jambaran Tiung Biru awalnya 86 bulan menjadi 73 bulan.
Selain itu, Blok Jangkrik dari 84 bulan menjadi 71 bulan, Blok IDD Bangka 106 bulan menjadi 83 bulan, Donggi dari 104 bulan menjadi 91 bulan. Sementara itu, Blok Matindok dari 88 bulan menjadi 73 bulan, Blok Senoro dari 130 bulan menjadi 116 bulan, Blok A dari pengurusan 136 bulan menjadi 118 bulan serta Blok Kepodang dari 134 bulan menjadi 113 bulan.
Chairman and Founder PT Sele Raya Eddy Tampi berharap, adanya sistem gross split juga bisa mempermudah sistem perizinan. Proses peizinan ini bisa selesai maksimal 60 hari. ''Kalau izin cepat bisa produksi dan menambah puluhan ribu barel,'' katanya. (Baca: Skema Gross Split Migas Ancam Keberadaan Kontraktor Kecil)