SKK Migas Menilai Impor Gas Tak Menjamin Harga Turun
Pemerintah berencana mengimpor gas dari luar negeri karena tingginya harga. Namun, Kepala Divisi Komersial Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Sampe L. Purba pesimistis kebijakan impor itu akan menyelesaikan masalah mahalnya harga gas.
Ada dua gaktor utama penyebab impor gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) belum tentu dapat dinikmati dengan harga murah pada konsumen akhir (end user). Faktor pertama, harga LNG bersifat fluktuatif dan tergantung pada harga minyak dunia. (Baca: Pemerintah Akan Impor Gas Tahun Ini)
Faktor kedua, proses LNG hingga sampai ke konsumen akhir harus melalui beberapa tahapan, seperti tahap pengapalan, regasifikasi, hingga pipa transmisi. Setiap proses itu memiliki komponen biaya. ''Saya katakan tidak serta-merta impor LNG akan membuat harga turun di level pembeli akhir,'' kata dia dalam diskusi komersialisasi gas di SKK Migas, Jakarta, Kamis (16/2).
Menurut Sampe, harga gas di hulu dalam negeri sebenarnya sudah efisien. Secara rata-rata, harga gas di Indonesia sekitar US$ 8 per mmbtu. Harga itu bahkan sudah bisa ditekan lagi menjadi US$ 6 per mmbtu, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016.
Namun, kendalanya ketika di sektor hulu sudah efisien, harga gas di konsumen akhir masih tinggi lantaran ada tambahan seperti biaya regasifikasi dan tranmisi. Komponen ini yang membuat harga gas menjadi mahal sampai pembeli akhir. Apalagi ada pihak perantara (trader) dalam jual beli gas. “Komponen trader gas ini kan bukan di wilayah kita,'' kata dia.
(Baca: Impor Gas Terganjal Kesiapan Infrastruktur di Dalam Negeri)
Di sisi lain, pemanfaatan gas dalam negeri juga masih rendah karena minimnya infrastruktur. Saat ini baru ada empat infrastuktur LNG domestik yang sudah beroperasi dan terhubung kepada penggunanya seperti fasilitas regasifikasi Arun, FSRU Lampung, Nusantara regas, dan mini LNG Teluk Benoa.
Masalah lainnya dalam industri gas adalah rendahnya penyerapan gas dalam negeri oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Menurut Sampe, faktor penghambat penyerapan gas bumi domestik adalah ketidakpastian PLN membeli gas dan cenderung mencari pasokan gas dari impor sesuai dengan nilai keekonomiannya.
Padahal Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menjadi tulang punggung untuk membeli gas dalam negeri. Hal ini terlihat dari pemanfaatan LNG saat ini mayoritas 90 persen untuk kebutuhan kelistrikan seperti untuk PLN dan IPP, sisanya baru untuk kebutuhan industri dan transportasi. (Baca: Istana Pastikan Impor untuk Tekan Harga Gas Industri)
Kepastian pasokan juga menjadi kendala dalam pengelolaan gas dalam negeri. Menurut Sampe, tidak ada yang bisa menjamin gas di suatu wilayah kerja bisa mengalirkan gas hingga berapa lama. ''Kami tidak bisa menjamin apa yang ada di bawah tanah, sisi pasokan dan keekonomian lapangan tidak sama,'' kata dia.