Impor Gas Terganjal Kesiapan Infrastruktur di Dalam Negeri
Pemerintah berencana membuka keran impor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) untuk memenuhi kebutuhan industri. Namun dalam pelaksanaannya, impor ini masih sulit dilakukan lantaran infrastruktur gas di dalam negeri yang masih minim.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan saat ini impor gas belum bisa dilakukan. Infrastruktur mencakup penerimaan, pengolahan, dan distribusinya harus dibangun terlebih dahulu sebelum impor dilakukan. Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga tahun.
"LNG bagaimana masuknya (ke dalam negeri), kalau infrastruktur belum terbangun," kata dia di Jakarta, Selasa (7/2). (Baca: SKK Migas: Impor Migas Akan Gerus Penerimaan Negara)
Arcandra menjelaskan saat ini infrastruktur LNG yang sudah ada di dalam negeri hanya bisa digunakan untuk beberapa wilayah saja. Misalnya fasilitas penyimpanan dan regasifikasi terapung (FSRU) Lampung dan Nusantara Regas di Jawa Barat. Sementara banyak daerah lain yang belum infrastruktur tersebut.
Oleh karena itu, meski kebijakan impor gas sudah diputuskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM masih mengevaluasinya. Rencananya kementerian akan membuat Peraturan Menteri ESDM sebagai payung hukum kebijakan impor gas. (Baca: Luhut: Impor Gas untuk Tingkatkan Daya Saing Industri)
Di tempat yang sama, Senior Vice President Gas and Power PT Pertamina (Persero) Djohardi Angga Kusumah mengatakan kebutuhan gas di dalam negeri akan terus meningkat setiap tahunnya. Sementara pasokan yang ada dari dalam negeri semakin berkurang.
Dia memperkirakan pada 2030 kebutuhan gas mencapai 10.000 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Dari jumlah tersebut, Jawa Barat menjadi wilayah yang paling besar membutuhkan pasokan gas sebesar 2.500 mmscfd. (Baca: Aturan Terbit, PLN Bisa Impor Gas Bumi untuk Pembangkit)
Masalahnya, saat itu pasokan gas dalam negeri hanya sebesar 6.000 mmscfd, sehingga akan terjadi defisit sebesar 4.000 mmscfd atau sekitar 32 ton LNG. Defisit gas tersebut terjadi lantaran produksi gas dalam negeri terus menurun. Apalagi beberapa proyek-proyek migas seperti Masela, IDD, dan East Natuna masih belum berproduksi. "Makanya dibutuhkan impor," kata dia.
Meski prediksi ini masih lama, ada keuntungan juga yang bisa didapat jika impor gas dilakukan saat ini. Menurutnya harga gas di pasar spot dunia saat ini hanya US$ 5 per juta british thermal unit (mmbtu). Ini jauh lebih murah dibandingkan harga gas plant gate di Jawa Barat yang rata-rata mencapai US$ 9 per mmbtu.
Namun, Djohardi juga mengakui bahwa impor juga tidak selalu menjanjikan harga murah. Jika pasokan di pasar spot sudah imbang, tidak ada lagi gas yang berlebih, maka harga LNG dipastikan akan merangkak naik. "Ini tergantung situasi pasar internasional," kata dia. (Baca: Pelaku Migas Minta Optimalkan Gas Dalam Negeri Sebelum Impor)