Pemerintah Harap Skema Gross Split Memacu Migas Nonkonvensional
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berharap skema baru kontrak bagi hasil gross split dapat memacu investasi migas. Terutama untuk bisa mendongkrak pengembangan blok-blok migas nonkonvensional.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengatakan skema kontrak yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 ini memberikan peluang bagi kontraktor mendapatkan bagi hasil yang lebih besar. Kontraktor blok migas nonkonvensional bisa langsung mendapat tambahan bagi hasil dibandingkan blok migas konvensional.
"Kalau sekarang pakai gross split, kami kasih tambah 16 persen (bagi hasil) untuk nonkonvensional. Kami harapkan (migas nonkonvensional bisa) atraktif," ujar Wiratmaja di Gedung DPR, Senin malam (30/1). Dalam kontrak gross split, bagi hasil migas dihitung berdasarkan prinsip pembagian produksi kotor (gross) tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery).
Meski baru setengah bulan aturan ini diterbitkan, Wiratmaja mengatakan sudah ada beberapa kontraktor yang berencana mengubah skema kontrak kerja samanya menjadi gross split. Namun, dia masih merahasiakan nama-nama kontraktor tersebut. (Baca: Kuasai Aset Migas, Pemerintah Dinilai Tak Konsisten Pakai Gross Split)
Dihubungi terpisah, Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin mengatakan aturan gross split belum sepenuhnya mengakomodasi kontraktor migas nonkonvensional. Dia mencontohkan salah satunya terkait penentuan bagi hasil dasar (base split) yang diambil dari rata-rata capaian kontraktor migas dalam 10 tahun terakhir.
Menurutnya pertimbangan bagi hasil tersebut belum memperhitungkan keekonomian blok nonkonvensional. "Industri migas di blok migas nonkonvensional belum ada satupun yang produksi dalam 10 tahun terakhir ini," kata dia kepada Katadata, Selasa (31/1). Makanya dia mengusulkan perhitungan ini agar dikaji ulang.
(Baca: Pelaku Industri Migas Kritik Aturan Baru Kontrak Gross Split)
Dia menilai base split yang ditentukan pemerintah lebih besar di awal, malah akan membuat kontraktor migas kesulitan mencapai keekonomian pada awal-awal produksi. Di sisi lain, penambahan variabel split untuk blok nonkonvensional sebesar 16 persen belum cukup untuk menutupi keekonomian lapangan yang sangat marginal pada blok nonkonvensional.
Sebagai gambaran, pada skema kontrak gross split, mekanisme bagi hasil awal (base split) ditentukan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif. Komponen variabel dan komponen progresif ini bisa menambah atau mengurangi bagi hasil kontraktor.
Besaran bagi hasil awal untuk minyak bumi yang menjadi bagian negara sebesar 57 persen, sisanya kontraktor. Sedangkan bagian negara dari produksi gas bumi sebesar 52 persen dan sisanya menjadi hak kontraktor. (Baca: Mengukur Manfaat Skema Baru Gross Split bagi Negara)
Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini terdapat 54 kontrak blok migas nonkonvensional. Rinciannya sebanyak 48 kontrak wilayah kerja gas metana batu bara (CBM) dan 6 kontrak wilayah kerja gas serpih atau shale gas.
Sepanjang 2008-2016 jumlah penawaran dan penandatanganan kontrak wilayah kerja migas non konvensional mengalami kelesuan. Pada 2011, pemerintah melelang 29 blok migas konvensional. Jumlah blok migas yang ditawarkan ini merupakan yang paling tinggi dalam sembilan tahun terakhir. Namun, hasil lelangnya hanya 11 blok yang laku.
Setelah 2011, lelang wilayah kerja migas nonkonvensional kian lesu. Pada 2013, dari dua blok nonkonvensional yang dilelang, hanya satu yang laku. Tahun lalu ada tiga blok yang ditawarkan, tapi hanya satu yang berhasil mencapai penandatanganan kontrak.
Untuk diketahui, cadangan migas nonkonvensional Indonesia sangat besar dan belum banyak yang tergarap. Cadangan gas metana batubara mencapai 453,3 triliun kaki kubik (tcf), sementara shale gas mencapai 574,07 tcf.