Negosiasi Harga Listrik Mikro Hidro Buntu
Penentuan harga jual listrik Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLTMH) belum mencapai kesepakatan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT Perusahaan Listrik Negara tak kunjung memberi kata akhir tarif listrik pembangkit mini tersebut.
Saat ini, PLN tetap menentukan tarif atas dasar perhitungan perusahaannya. Di sisi lain, Kementerian Energi dianggap memutuskan nilai tarif PLTMH karena ada tekanan politik. (Baca: Porsi Gas di Pembangkit Listrik Naik Jadi 25 Persen).
Namun Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi Maritje Hutapea membantah ada tekanan dari pejabat negara. Penentuan tarif yang cukup tinggi merupakan salah satu cara untuk merangkul semua pihak terutama investor agar mengembangkan pembangkit mini hidro.
Namun Maritje tidak memungkiri bila ada pihak yang sangat diuntungkan dengan kebijakan ini. Misalnya, karena investor memiliki wilayah pembangunan PLTMH yang bagus. “Saya tidak terima jika dikatakan ada tekanan politik,” kata Maritje di Kantor Direktorat Jenderal EBTKE, Jakarta, Jumat, 3 Juni 2016.
Kisruh ini bermula dari surat Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada Menteri Energi Sudirman Said untuk menaikan harga listrik dari PLTMH. Kalla menginginkan agar PLN membeli listrik dengan harga yang sama antara pelaku mini hidro dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) atau pembangkit lainnya. Namun PLN membeli listrik PLTMH dengan harga lebih rendah, sehingga pelaku usaha di pembangkit skala kecil ini kurang berkembang.
Menurut Kalla, PLN membeli listrik dari PLTA di Serawak sebesar US$ 9 sen per kilowatt jam (kWh). Namun, ketika membeli listrik dari pembangkit mini hidro harganya hanya US$ 5 sen per kWh. (Baca juga: PLN Serahkan Revisi RUPTL di Tenggat Akhir).
Terdapat dua mekanisme perhitungan yang menjadi perberbedaan antara PLN dan pemerintah. PLN menghitung penentuan subsidi berdasarkan selisih tarif yang ditentukan terhadap harga jual. Hal tersebut menyebabkan subsidi yang diberikan membengkak.
Sedangkan pemerintah menentukan selisih tarif yang ditentukan dengan BPP-nya PLN. “Artinya saat kita bandingkan dengan BPP, tidak perlu subsidi. Karena dari hitungan kami ada saving sekitar Rp 600 - 700 juta per tahun,” ujar Maritje.
Akhirnya, Kementerian Energi menentukan harga jual sebesar US$ 12 sen per kWh. Keputusan ini langsung mendapat respons dari PLN dengan mengeluarkan surat edaran baru yang menentukan harga jual PLTMH tanpa persetujuan Kementerian Energi. Sebab, tarif yang ditentukan pemerintah dianggap terlalu mahal.
Atas langkah ini, Kementerian Energi Kembali menegur PLN. Meski sudah mendapat perintah untuk mengikuti tarif yang ditetapkan Kementerian Energi, sampai saat ini PLN tetap menggunakan tarif lama.(Baca:Target Listrik 35 GW Tak Tercapai, Menteri Sofyan: Masalah di PLN).
Sebagai jalan keluar, Kementerian Energi memberi tenggat waktu. Sementara waktu, PLN tetap memakai perjanjian jual-beli lstrik, power purchase agreement (PPA), dengan pengembang. Dengan catatan, setelah ada subsidi, PLN harus mengikuti harga dari pemerintah. “Kami akan diskusikan lagi untuk menentukan angka total subsidi di APBN-P 2016,” kata Maritje.