Pengembangan Blok Sakakemang Terganjal Aturan Harga Gas Industri
Pengembangan Blok Sakakemang terancam mundur akibat aturan penurunan harga gas industri. Itu lantaran Repsol, operator blok migas itu, keberatan dengan penetapan harga gas maksimal US$ 6 per MMbtu.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas menyebut Repsol menginginkan harga jual gas dari Blok Sakakemang mencapai lebih dari US$ 7 per MMbtu. Pasalnya, perusahaan asal Spanyol itu ingin mendapatkan tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) yang maksimal.
Sehingga harga gas Blok Sakakemang dipatok lebih tinggi dari ketetapan pemerintah. "Kami dari Divisi Komersial ikut campur dalam penentuan apakah bisa lanjut apa enggak. Harga keekonomian Repsol berbeda dengan harga jual di Indonesia," kata Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Handoko dalam diskusi secara virtual, Kamis (6/8).
SKK Migas dan Repsol pun terus berdiskusi terkait harga gas Blok Sakakemang. Lembaga tersebut ingin menjaga agar proyek migas bisa berjalan tanpa mengurangi penerimaan negara.
"Kami harus imbang jaga keekonomian kontraktor dan penerimaan negara tidak berubah," ujarnya.
Repsol menyebut Blok Sakakemang sebagai penemuan gas terbesar di Indonesia dalam 18 tahun terakhir. Blok Sakakemang juga disebut-sebut sebagai penemuan terbesar keempat dunia dalam dua tahun terakhir.
Untuk mempercepat produksi blok migas tersebut, Repsol akan melanjutkan pengeboran dua sumur eksplorasi pada tahun ini. Sumur itu bernama Re-Entry KBD-2X dan KBD-3X.
Selain itu, Repsol memilih mengajukan sertifikasi cadangan hanya 1 TCF. Padahal, temuan potensi cadangan blok tersebut bisa mencapai 2 TCF.
Keputusan tersebut diambil agar Repsol tak perlu melaksanakan pengeboran lebih banyak untuk membuktikan cadangan 2TCF. Proses tersebut bisa memakan waktu yang panjang dan biaya yang lebih besar. Padahal, pemerintah menargetkan Blok Sakakemang beroperasi pada tahun depan.