Tiga Poin Masalah Hulu Migas dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang baru rupanya meninggalkan tanda tanya. Banyak hal belum terjelaskan dengan detail, khususnya terkait klaster minyak dan gas bumi atau migas.
Dalam aturan sapu jagat itu terdapat perubahan dalam pengusahaan hulu migas. Skema kontrak yang awalnya berbentuk kerja sama kini berubah menjadi perizinan berusaha.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas tertulis kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama. Sedangkan dalam Pasal 5 UU Cipta Kerja menyebutkan kegiatan usaha migas bumi dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai perubahan pasal itu menyebabkan tiga hal yang tidak jelas. Pertama, kepada siapa nantinya izin diberikan. Apakah badan usaha milik negara (khusus/tertentu) boleh bekerja sama dengan badan usaha lain? Atau izin ini diberikan secara langsung kepada badan usaha, seperti penerapan di sektor mineral dan batu bara (minerba)?
Kedua, dalam hal keekonomian. “Keduanya menghasilkan keekonomian yang sama bagi negara dan kontraktor. Namun, dalam praktik yang lazim, izin lebih umum memakai tax dan royalti sebagai instrumen fiskalnya,” kata Pri Agung kepada Katadata.co.id, Senin (12/10).
Perizinan berusaha, menurut dia, lebih sederhana ketimbang kontrak bagi hasil cost recovery ataupun gross split. Kontrak lainnya yang tidak kalah sederhana dibandingkan izin, misalnya kontrak service yang menitikberatkan pembayaran biaya (fee) tertentu kepada kontraktor.
Ketiga, dari sisi hierarki hukum, ada perbedaan yang cukup prinsipil. Meskipun tak mutlak di dalam implementasinya di lapangan, perizinan berusaha menempatkan negara atau pemerintah sebagai pihak yang menerbitkan izin. Secara teori, pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan dan mencabutnya.
“Dengan kata lain, posisi pemberi izin secara hierarki lebih tinggi dibandingkan yang diberi izin. Sedangkan dalam kontrak, posisi kedua belah pihak relatif setara,” ucapnya.
Lalu, kontrak hanya dapat berubah dengan kesepakatan kedua belah pihak, tidak bisa sepihak. Namun, dalam praktiknya tidak selalu demikian. Posisi tawar kedua belah pihak secara de facto akan menentukan apakah kontrak maupun izin dapat berubah.
"Negara yang memerlukan investasi tentu tidak kemudian akan dapat semena-mena mencabut izin dari suatu badan usaha yang posisi tawarnya kuat, meskipun secara hukum hal itu dimungkinkan," kata dia.
Jadi, menurut Pri Agung, berapa besar manfaat skema hulu migas kepada negara bukan semata ditentukan oleh rezim izin atau kontrak. Semua akan tergantung pada penerapannya sistem yang dipilih pemerintah.
Detail Pembahasan di Revisi UU Migas
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin berpendapat skema kontrak ke izin merupakan perubahan yang cukup besar. Pemerintah perlu meninjau kembali implementasinya ke depan seperti apa. "Apakah sama dengan pertambangan batu bara dan mineral? Apakah ada sistem royalti? Skemanya bagaimana? dan lain-lain," ujarnya.
Selain itu, dia juga berpendapat bahwa izin tambang dengan sistem royalti lebih sederhana. Untung-ruginya pun tergantung dari rincian dan implementasinya seperti apa.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyampaikan pada klaster migas tidak akan ada perubahan spesifik dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR sepakat pembahasan detail aturan itu akan masuk di revisi UU Migas. "Sub-klaster minyak bumi tetap UU Migas. Pembahasannya mulai di 2021," kata dia pada saat konferensi pers virtual, Rabu pekan lalu.
Sampai sekarang pembahasan revisi UU Migas tak kunjung terlaksana. Padahal perubahannya sudah diamanaatkan sejak panitia khusus atau pansus bahan bakar minyak (BBM) dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Nasibnya bertolak belakang dengan UU Migas yang telah disahkan pada awal tahun ini. Pemerintah sekarang juga sedang mengebut untuk menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang energi baru terbarukan RUU EBT.