Marak Tambang Ilegal, Tata Niaga Timah Masih Bermasalah
- Ekonom Faisal Basri menyorot praktik tambang ilegal timah yang masih marak terjadi.
- Cadangan timah Indonesia serupa dengan Tiongkok, tapi pemanfaatan untuk kebutuhan domestik masih sangat minim.
- Hilirisasi timah belum berkembang dan berpotensi menarik investasi.
Pemerintah Indonesia dinilai tebang pilih dalam pemanfaatan komoditas mineral. Nikel saat ini menjadi primadona, seiring dengan pengembangan mobil listrik dan pabrik baterai. Sementara timah menjadi anak tiri.
Ekonom senior Faisal Basri mengatakan regulasi tata niaga timah masih lemah. Praktik penambangan dan ekspornya masih marak terjadi di Indonesia.
Banyak kasus pemegang izin usaha pertambangan atau IUP yang tidak memenuhi syarat tapi menjadi penadah hasil tambang tersebut secara ilegal. Imbasnya, pelaku usaha yang memiliki legalitas hukum menjadi kalah saing. “Yang legal akan mati, yang ilegal akan tumbuh,” kata Faisal dalam diskusi virtual, Senin (11/1).
Buruknya tata niaga timah masih belum mendapat perhatian dari pemerintah. Kondisinya berbeda dengan nikel yang terus didorong pemanfaatannya. “Jangan nikel saja yang diurusin,” ujarnya.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengatakan tata niaga timah telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 juncto Permen ESDM Nomor 5 Tahung 2017 dan Peraturan Menteri Perdangangan Nomor 53 Tahun 2018 juncto Permendag Nomor 33 Tahun 2015.
Dalam beleid itu tertulis timah yang dapat dijual ke luar negeri harus melalui pengolahan dan pemurnian dalam negeri sampai mencapai batasan minimum kadar lebih 99,9% dan dalam bentuk timah murni batangan. Peraturan Menteri Perdagangan mengatur ukuran dan bentuk tertentu untuk ekspor tersebut.
Kegiatan ekspor pasir timah yang belum memenuhi syarat tersebut akan dilarang. ”Sehingga secara legal tidak memungkinkan adanya kegiatan ekspor pasir timah," kata Yunus kepada Katadata.co.id, kemarin. Namun, saat disinggung mengenai upaya Kementerian ESDM dalam memberantas praktik kegiatan tambang dan ekspor ilegal, ia tak menjawab.
Sekretaris Perusahaan PT Timah Tbk Muhammad Zulkarnaen pun menyebut pemerintah telah mengatur soal tata niaga timah. “Untuk ekspornya telah diatur dalam bentuk tertentu, yaitu logam ingot kadar tertentu,” ucapnya.
Permohonan ekspornya pun harus melampirkan dokumen, termasuk rencana kerja dan anggaran (RKAB) dan perhitungan material balance. RKAB itu mencantumkan neraca cadangan, rencana penjualan, dan sisa cadangan bijih timah.
Praktik kegiatan tambang dan ekspor ilegal perlu penanganan pihak terkait. “Pentingnya penegakan hukum dan RKAB terpusat di Kementerian ESDM,” kata Zulkarnaen.
Pemanfaatan Timah Indonesia Kalah dengan Tiongkok
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan regulasi saat ini sebenarnya sudah cukup baik, tapi implementasinya di lapangan yang masih berantakan. Sampai sekarang praktik tambang ilegal di atas lahan milik PT Timah masih marak terjadi.
Saat berkunjung ke pusat tambang timah Tanah Air, yaitu Kepulauan Bangka Belitung, beberapa waktu lalu, ia melihat banyak aktivitas tambang tak patut hukum tersebut. Yang mendapat untung dari kegiatan ini adalah negara lain. “Mereka membeli sebanyak-banyaknya timah ilegal untuk hilirisasi dan kembali dijual di sini,” kata Mamit.
Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyebut cadangan timah dunia saat ini sekitar 4,74 juta ton. Indonesia memiliki cadangan timah nomor dua terbesar dunia, yaitu 0,80 juta ton atau sekitar 23%. Angka ini relatif sama dengan Tiongkok, namun di atas Brasil 15% dan Australia 8%.
Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI), produksi timah terus meningkat. Di 2019, angkanya mencapai 76.389 ton dari rencana produksi 69.996 ton. Demikian pula di 2020. Dari rencana 70 ribu ton, tercatat sampai September mencapai 52.464 ton (74,95%).
Target tahun lalu dapat dikatakan akan tercapai. "Dari data tersebut jelas posisi produksi timah Indonesia melampaui Malaysia dan Peru. Namun, jauh di bawah Tiongkok yang di 2019 mencapai sekitar 166.600 ton," ujar Singgih.
Pemanfaatan timah terbesar untuk elektronik, produk kimia, tin plate, dan copper alloys (produk tembaga). Untuk menghasilkan seluruh produk ini, Tiongkok mengonsumsi sebesar 46% timah dunia.
Hal ini, menurut dia, sangat menarik. Indonesia memiliki cadangan relatif sama dengan Tiongkok. Tapi produksinya rendah dan konsumsi domestiknya pun masih kecil. Dari produksi 76.389 ton, untuk kebutuhan domestik hanya 1.170 ton, sisanya untuk ekspor.
Industri dan hilirisasi timah belum berkembang di Indonesia. “Bahan baku industri hilir pembuatan tin chemical dan tin mill black sebagian besar justru masih impor,” ucapnya.
Potensi Timah Masih Besar
Cadangan timah di Indonesia sebagian besar atau 91% tersebar di Kepulauan Bangka Belitung. Dengan cadangan 2,23 juta ton dan asumsi produksi 85 ribu juta ton per tahun, maka persediaannya cukup untuk 26 tahun ke depan. “Dari sisi ini, jelas Indonesia masih menarik bagi investor untuk pertambangan dan industri timah,” kata Singgih.
Kementerian ESDM sebaiknya segera mempercepat serapan komoditas tambang itu untuk dalam negeri melalui penguatan industri. Hilirisasi timah harus dipercepat.
Perizinan daring dan kemudahan fiskal terkait bea impor dan tax holiday telah pemerintah sediakan. “Ini yang harusnya terus dievaluasi untuk melihat kondisi persaingan perdagangan dan industri timah di pasar global,” ujarnya. Investasi untuk hilirisasi timah berpotensi mendorong serapan tenaga kerja dan dampak ekonomi lainnya.
Terkait ekspor timah ke negara tetangga, ia menyebut angkanya telah turun sejak pemerintah melarangnya di 2020. Sebelum ada aturan tersebut, timah Indonesia banyak diekspor ke Singapura. Pekerjaan rumah terbesar sekarang adalah bagaimana memperbanyak industri pemanfaatan timah domestik.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengatakan potensi pemanfaatan komoditas timah di Indonesia sebenarnya cukup banyak. Misalnya, untuk kebutuhan solder, komponen elektronik, kaleng tahan karat, bahan dasar produk baterai, dan komponen mobil listrik.
Namun, masalahnya adalah industri hilir di dalam negeri untuk memanfaatkan timah belum berkembang. Untuk bahan baku soldernya saja jumlahnya masih minim dan harus dipenuhi melalui impor.
Begitu pula dengan produk tin plate. Kebutuhan domestik saat ini sebesar 288 ribu ton. Industri dalam negeri hanya mampu menyediakan 160 ribu ton, sisanya terpaksa dari luar negeri. “Untuk kebutuhan solder, produksi PT Timah hanya sebesar 1.387 ton di 2019,” kata Rizal.
Banyak regulasi untuk tata niaga timah. Tinggal sekarang saatnya pemerintah bersikap konsisten dalam menegakkan hukum. “Dengan begitu amanat undang-undang dan aturan turunan lainnya bisa dijalankan dengan baik,” ujarnya.