Peluang Kenaikan Produksi Freeport di Tengah Lonjakan Harga Tembaga
- Harga tembaga berpotensi naik hingga US$ 10 ribu per ton pada tahun ini.
- Booming proyek kendaraan listrik dan energi terbarukan juga memicu kenaikan harga logam tambang itu.
- Freeport berencana menaikkan produksi tembaganya.
Harga tembaga melejit. Angkanya tembus US$ 9 ribu per ton dalam dua pekan ini. Kenaikannya merupakan yang tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.
Berdasarkan data Bloomberg, Kamis (3/4), komoditas tambang itu di London Metal Exchange terpantau di level US$ 9.101,5 per ton.
Perusahaan investasi Goldman Sachs beberapa waktu lalu menyebut kenaikan logam tersebut dipicu permintaan dari Tiongkok. Namun, pasar sedang menghadapi defisit terbesar dalam satu dekade terakhir, dengan risiko kelangkaan yang tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
Tanda-tanda pengetatan telah muncul di bursa berjangka London Metal Exchange. Pola itu terkenal dengan istilah backwardation, yaitu ledakan permintaan di pasar spot yang melampaui pasokan karena persediaan yang menipis.
Pengamat komoditas Ariston Tjendra mengatakan kenaikan harga tembaga terjadi karena outlook pemulihan ekonomi global. Hal ini seiring dengan menurunnya kasus harian Covid-19 dan kemajuan program vaksinasi. “Terjadi euforia di pasar. Investor beralih ke aset berisiko untuk mencari yield (imbal hasil) lebih tinggi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (4/3).
Kenaikannya juga diimbangi pemulihan ekonomi Tiongkok, negara dengan konsumsi tembaga terbesar di dunia. Demikian pula dengan Jepang yang industri manufakturnya mulai pulih.
Tembaga banyak dipakai pada sektor manufaktur. Saat industri manufaktur pulih, maka permintaan barang tambang itu pun naik. Karena itu, menurut Ariston, potensi kenaikan harganya masih terbuka lebar. "Tapi ada level resistant yang cukup kuat di kisaran US$ 9.640 per ton, yang bisa menahan penguatan harga," ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menujukkan ekspor tembaga pada 2019 mencapai US$ 1,28 miliar. Kontribusinya terhadap total ekspor nasional yang sebesar US$ 167 miliar sekitar 0,76%.
Freeport Indonesia Berpotensi Genjot Produksi
Sebagai salah satu produsen tembaga dalam negeri, PT Freeport Indonesia membuka opsi untuk memproduksi lebih banyak. “Di luar persetujuan rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) 2021, kami punya potensi untuk berproduksi lebih banyak,” kata juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama.
Namun, ia tak membeberkan lebih jauh target produksi perusahaan tahun ini. Semua angkanya telah mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto mengatakan realisasi produksi tembaga di Indonesia tiap tahunnya terus mengalami peningkatan.
Realisasi produksi katoda tembaga di 2019 mencapai 180 ribu ton dan tahun lalu sebesar 269 ribu ton. Untuk tahun ini targetnya juga akan lebih tinggi. "Sesuai RKAB 2021, sekitar 291 ribu ton (sementara)," kata dia.
Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan realisasi produksi tembaga Indonesia kerap tak sesuai target. Produksi pada 2019 hanya memenuhi 61,9% dari target yang ditetapkan.
Reuters pada pekan lalu menyebut salah satu pemegang saham Freeport Indonesia, yaitu Freeport-McMoran, akan berekspansi di beberapa tambang tembaganya. Hal ini seiring dengan momentum Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang akan menggenjot proyek pencegahan perubahan iklim.
Dalam laporan terkini JPMorgan menyebutkan, permintaan tembaga untuk pengembangan mobil listrik dan energi terbarukan akan meningkat dari 925 ribu ton tahun ini menjadi 4,2 juta ton pada tahun 2030.
Logam merah tersebut banyak dipakai untuk proyek mobil listrik dan energi baru terbarukan (EBT). Di sisi lain, keberadaanya juga menjadi barometer kesehatan ekonomi karena penggunaannya di bidang manufaktur.
Bos Freeport-McMoran Richard Adkerson menyebut penggunaan tembaga akan naik dua kali lipat untuk mesin pembakaran internal. “Presiden Biden jelas memiliki komitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan setiap inisiatif tersebut menciptakan permintaan tembaga,” ucapnya.
Optimisme ini muncul setelah tahun lalu Freeport sempat terpuruk karena harga tembaga yang jatuh. Adkerson ketika itu mengaku khawatir dengan kemampuan perusahaan untuk terus beroperasi di tengah pandemi Covid-19.
Kini, kondisinya berubah 180 derajat. “Sekarang kami dapat fokus pada peluang pertumbuhan,” katanya. Pilihan perluasan tambang menjadi opsi paling ekonomis daripada membangun baru untuk saat ini.
Harga saham Freeport telah naik dari US$ 5 per lembar pada tahun lalu menjadi US$ 35 per lembar pada akhir perdagangan kemarin. Kombinasi peningkatan penjualan dan harga saham ini kemungkinan besar akan menyingkirkan calon penawarnya, termasuk Barrick Gold Corporation.
Tahun lalu, perusahaan asal Kanada itu menyatakan ketertarikannya membeli saham tersebut. Saat itu nilai pasar Barrick dua kali lipat daripada Freeport. Tapi sekarang keadaan berbalik, nilai pasar Freeport lebih US$ 20 miliar daripada Barrick.
Komitmen Freeport terhadap tembaga, Adkerson mengatakan, akan tetap ada. Perusahaan akan menghindari lithium, logam tanah jarang, dan logam untuk industri kendaraan listrik (EV) lainnya yang sedang booming di pasar komoditas.
Freeport percaya diri dengan posisinya sebagai produsen molibdenum terbesar di dunia. Logam ini sering ditemukan pada tembaga dan kerap digunakan untuk membuat baterai EV dan airbags (kantung udara mobil).
Harga Tembaga Akan Cetak Rekor Lagi?
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, peningkatan harga tembaga memang lagi-lagi tidak terlepas dari stimulus pembangunan infrastruktur, terutama yang pemerintah Tiongkok berikan.
Dengan prospek pemulihan ekonomi Negeri Panda dan juga global, menurut dia, permintaan tembaga masih prospektif. Potensi kenaikan harganya hingga US$ 10 ribu per ton masih dapat terjadi.
Tentu hal itu akan berpengaruh ke produk yang Indonesia kirim ke luar negeri. Tembaga merupakan salah satu barang ekspor pertambangan terbesar setelah batu bara. Kontribusinya sekitar 13% terhadap total ekspor hasil pertambangan.
Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari rencana pemerintah yang akan menggenjot pembangunan infrastruktur. "Tentu ini juga berdampak pada permintaan dan harga tembaga," kata Yusuf.
Dunia pun saat ini sedang beralih ke energi bersih untuk menambah dan mengganti bahan bakar fosil. Dorongan energi terbarukan sangat bergantung pada produk logam, termasuk tembaga.
Direktur Solid Gold Berjangka Dikki Soetopo berpendapat kenaikan harga tembaga terjadi akibat meningkatnya volume permintaan pasar di tengah optimisme pemulihan ekonomi dunia.
Ia pun memprediksi harga tembaga masih akan mengalami penguatan yang cukup signifikan kedepan. Tiongkok akan menjadi pemicu utama. Negara ini berkontribusi sekitar 50% dari total permintaan global.
Proyek-proyek yang tertunda akibat pandemi di Tiongkok mulai berjalan tahun ini. "Komoditas tembaga memegang peranan penting dalam laju perekonomiannya," ujar Dikki.
Di samping itu, ada beberapa kebijakan dari lainnya yang akan melambungkan nilai komoditas tembaga. Beijing mengumumkan rencana pengembangan sumber energi terbarukan melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan air (PLTA). "Harganya berpeluang untuk menembus level US$ 10 ribu per ton dalam beberapa waktu kedepan," ujarnya.