PTBA Bakal Olah Limbah Batu Bara Jadi Bahan Baku Konstruksi
Pemerintah mengeluarkan limbah batu bara hasil pembakaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). PT Bukit Asam Tbk alias PTBA bakal mengolah limbah tersebut menjadi bahan baku keperluan konstruksi.
Jenis limbah yang keluar dari kategori B3 itu adalah fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau FABA. Limbah padat ini berasal dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengatakan, seiring kemajuan teknologi, limbah batu bara sudah tidak lagi menjadi persoalan. “Teknologi untuk mengelola FABA sudah jauh berkembang,” katanya dalam konfersi pers, Jumat (12/3).
FABA dapat dimanfaatkan untuk beberapa bahan keperluan konstruksi. Misalnya, pelapis fondasi jalan dan bahan bangunan. Perusahaan telah memiliki teknologi untuk menangkap limbah PLTU tersebut. "Dengan adanya aturan ini menjadi kabar baik, gembira, buat kami," ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan material FABA yang menjadi limbah non-B3 hanya dari proses pembakaran batu bara di luar fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri.
Untuk fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, tetap termasuk limbah B3. Bahan beracunnya adalah fly ash (B409) dan bottom ash (B410).
Pertimbangannya, pembakaran batu bara di sektor industri memakai temperatur rendah. Proses ini membuat unburned carbon yang dihasilkan tinggi dan relatif tidak stabil saat disimpan.
Kondisinya berbeda untuk pembakaran batu bara di kegiatan PLTU. Dengan memakai temperatur tinggi, kandungan unburned carbon-nya menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan. Limbahnya dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining), dan restorasi tambang.
Aturan itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Kehadirannya merupakan turunan dari Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Untuk pengelolaan limbah batu bara, Rosa mengatakan, tetap melaksanakan prinsip kehati-hatian oleh penghasil atau jasa pengolahnya. Termasuk dalam kegiatan itu adalah upaya pengurangan limbah atau waste minimisation.
Kedua, pengelolaan dari mulai dihasilkan hingga ditimbun atau from cradle to grave. Ketiga, pengelolaan dengan prinsip ekonomi sirkular atau from cradle to cradle.
Keempat, penghasil bertanggung jawab atas pencemaran atau polluter pay. Kelima, kedekatan pengelolaan limbah dengan lokasi pengolahan atau proximity. Terakhir, pengelolaan berwawasan lingkungan atau environmentally sound management.
“Pengelolaan limbah nonB3, persyaratan dan standar pengelolaannya tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan," ujar Rosa dalam keterangan tertulis, Jumat (12/3).
Kritik Penghapusan FABA Limbah Batu Bara
Jaringan Advokasi Tambang alias Jatam dalam keterangan tertulisnya mengkritik keputusan pemerintah tersebut. “Penghapusan FABA dari kategori limbah berbahaya ini adalah paket kebijakan besar (grand policy) untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batu bara mulai dari hulu hingga ke hilir,” kata Andri Prasetiyo, Peneliti dan Pengkampanye Trend Asia.
Penetapan aturan ini tidak terlepas dari desakan simultan sejak pertengahan tahun 2020 oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI-ICMA) juga disebut terlibat di dalamnya.
Dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 dinilai sebagai keputusan bermasalah dan berbahaya. Batu bara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif.
Ketika komoditas tambang itu dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracunnya terkonsentrasi pada hasil pembakarannya, yakni abu terbang dan abu padat (FABA).
Limbah tersebut mengandung arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium. “Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik, dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar,” ujar Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Dalam laporan Analisis Timbulan & Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), FABA termasuk dalam jenis limbah B3 terbanyak pada 2019. Bahkan, abu padat masuk dalam kategori limbah dengan tingkat bahaya tertinggi dengan skor 13 (dari skala 14), sedangkan abu terbang memiliki skor 11 (dari skala 14).
Penghapusan aturan yang terjadi saat ini dengan dalih mendorong pemanfaatan hanya akan berakhir sebagai langkah ekonomi yang berisiko tinggi. “Transisi energi harus dilakukan secara serius dan dimulai dengan kebijakan phase out batu bara, bukan justru terus memfasilitasi industri energi yang kotor, rakus dan serakah,” ucap Ali Akbar dari Yayasan Kanopi Bengkulu.