Susul Cina Kembangkan Logam Tanah Jarang, RI Bisa Bermitra dengan AS
Logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth element saat ini menjadi komoditas penting di dunia, utamanya untuk bahan baku pendukung produk industri berteknologi tinggi hingga alat sektor pertahanan. Namun belum banyak negara yang mempunyai pengalaman untuk pemanfaatan mineral langka ini, salah satunya Indonesia.
Berdasarkan data survei geologis Amerika Serikat (AS) atau US Geological Survey, Cina menempati urutan pertama sebagai pemilik deposit LTJ terbesar dunia. Setidaknya pada 2020, negeri tersebut mempunyai deposit mencapai 44 juta ton atau 39,4% dari total deposit dunia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan negeri tirai bambu tersebut saat ini menguasai 80% deposit logam tanah jarang dunia. Selain itu, Cina juga menjadi pemasok utama 17 jenis LTJ yang diperlukan untuk teknologi energi dan perangkat militer.
Dominasi Tiongkok atas pesatnya pengembangan LTJ di negara tersebut tak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka yang sudah cukup lama berkecimpung dalam pengelolaan mineral langka ini. Sebab, pengembangan logam tanah jarang di Tiongkok sendiri menurut Fabby sudah dimulai sejak 1986 dengan pengembangan riset dan teknologi.
Setelah itu, Cina mengembangkan industri yang secara bertahap menguasai deposit LTJ dunia. "Untuk Indonesia, sukar rasanya bersaing dengan Cina," kata Fabby kepada Katadata.co.id, Selasa (14/12).
Meski begitu, untuk memulainya Indonesia saat ini dapat membangun strategi pemetaan dan pemanfaatan logam tanah jarang, melalui dukungan riset dan pemetaan potensi.
Selain itu, RI juga dapat memulai kemitraan dan pengembangan industri dengan beberapa negara lain. "Pilihan bermitra dengan Cina atau AS yang menguasai teknologi ekstraksi logam tanah jarang," katanya.
Meskipun menurut data BP Statistical Review of World Energy, Amerika hanya menempati urutan ke-6 di dunia dalam kepemilikan deposit terbesar mineral langka ini di dunia. Simak databoks berikut:
Namun AS bisa menjadi opsi jika Indonesia ingin mencari mitra dalam mengembangkan potensi LTJ di dalam negeri. Sebab, Kementerian ESDM sebelumnya mengungkapkan bahwa Cina sebagai produsen logam tanah jarang terbesar dunia masih menutupi teknologi miliknya dalam memanfaatkan mineral langka ini.
Sementara, Indonesia memiliki potensi sisa hasil pengolahan mineral timah, yakni monasit, yang dapat diekstraksi menjadi logam tanah jarang.
"Cina tak terbuka karena mereka mencoba menciptakan industri produsen logam tanah jarang. Sehingga mereka bisa menguasai produksinya," kata Deputi Direktur Pengawasan Eksplorasi Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Andri B. Firmanto, Senin (13/12).
Kementerian ESDM juga telah melakukan perhitungan jumlah kandungan monasit di wilayah Bangka pada tahun ini. Adapun setelah perhitungan tersebut selesai, dia berharap PT Timah dapat menjadi salah satu BUMN yang dapat mengumpulkan atau membeli monasit di Indonesia.
Selain itu, pemrintah juga telah membuat rencana aksi untuk pemanfaatan monasit dan Sisa Hasil Produksi (SHP) Timah. Misalnya, pada 2022 pemerintah berharap supaya PT Timah dapat memilih teknologi untuk mengolah monasit.
PT Timah juga diharapkan dapat melakukan konstruksi pembangunan fasilitas pengolahan untuk monasit dan sisa hasil produksi timah. Sehingga pada 2026 mendatang, BUMN tambang ini mampu memproduksi logam tanah jarang untuk pertama kali.
"Harapannya pada 2026 PT Timah bisa menciptakan nanti masuk di industri dirgantara dan sebagainya bisa dengan mudah," katanya.