Harga Minyak Menguat 1,7%, Dipicu Prospek Peningkatan Permintaan Cina
Harga minyak global ditutup menguat pada perdagangan Jumat (20/1), dan membukukan kenaikan mingguan kedua berturut-turut. Penguatan harga utamanya dipicu prospek peningkatan permintaan dari Cina.
Mengutip Reuters, Sabtu (21/1), minyak mentah jenis Brent ditutup menguat di level US$ 87,63 per barel, naik US$ 1,47 atau 1,7% dibandingkan harga penutupan sehari sebelumnya.
Sementara, minyak mentah AS ditutup di level US$ 81,31 per barel, naik 98 sen atau 1,2%. Selama sepekan, Brent mencatat kenaikan sebesar 2,8% dan benchmark AS mengalami kenaikan 1,8%.
"Banyak trader percaya bahwa sangat mungkin kita akan melihat permintaan yang lebih tinggi datang dari Cina, yang terus melonggarkan kebijakan Covid-nya," kata analis Avatrade Naeem Aslam, dikutip dari Reuters.
Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) sebelumnya mengeluarkan pernyataan, bahwa pencabutan pembatasan Covid-19 di Cina diperkirakan akan membawa permintaan minyak global ke level tertinggi tahun ini.
Harga minyak global juga didukung oleh harapan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) akan segera menjalankan kenaikan suku bunga yang lebih kecil, yang dapat mencerahkan prospek ekonomi AS.
Jajak pendapat Reuters memperkirakan, The Fed akan mengakhiri siklus pengetatannya setelah kenaikan 25 basis poin pada masing-masing dari dua pertemuan kebijakan berikutnya, dan kemudian akan mempertahankan suku bunga stabil setidaknya selama sisa tahun ini.
Selain beberapa faktor yang telah disebutkan, harga minyak juga terbantu oleh adanya pembatasan minyak mentah Rusia. Analis Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch mengatakan, sanksi dan pembatasan pada minyak mentah Rusia secara bertahap memperoleh beberapa dampak pada harga minyak.
"Sanksi dan pembatasan minyak mentah Rusia ini akan menjadi faktor yang membuat harga minyak global lebih bullish," ujar Ritterbusch.
Rusia sendiri merupakan pemasok minyak mentah terbesar kedua China pada tahun 2022, setelah Arab Saudi.