Pemerintah Perlu 3 Langkah Stategis Capai Produksi Minyak 1 Juta Barel
Sejumlah pelaku usaha minyak dan gas bumi (migas) nasional meminta pemerintah untuk melaksanakan tiga langkah stategis untuk mengejar target produksi minyak 1 juta barel per hari dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari pada 2030.
Tiga strategi tersebut yakni mempertahankan produksi eksisting, mempercepat implementasi teknologi pengurasan minyak tahap lanjut atau Enhance Oil Recovery (EOR) pada sumur-sumur utama, dan akselerasi ekplorasi pada temuan lapangan minyak.
Presiden Direktur PT Petrogas Jatim Utama Cendana, Hadi Ismoyo, mengatakan bahwa tiga strategi itu merupakan langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah jika ingin mengejar target 1 juta barel minyak terangkut pada 2030.
Menurut Hadi, upaya mempertahankan torehan produksi minyak eksisting saat ini yang berada di kisaran 200 ribu barel per hari tak akan cukup untuk memenuhi target ambisius tersebut.
Lebih lanjut, kata Hadi, penerapan teknologi EOR di tanah air cenderung bergerak ke arah yang konservatif. Menurutnya, implementasi EOR urgen diterapkan pada lapangan minyak yang menjadi tulang punggung produksi nasional. Satu diantaranya adalah Blok Rokan di Riau.
"EOR ini mandek. Tahun lalu, November ada proposal dari KKKS malah ditolak katanya kurang ini-kurang itu, sampai sekarang kurang jelas. Padahal EOR tulang punggung untuk meningkatkan produksi," kata Hadi dalam Energy Corner CNBC pada Senin (13/2).
Upaya percepatan proses eksplorasi yang memakan waktu sekitar 10 hingga 15 tahun juga menjadi sorotan. Idealnya, kata Hadi, Indonesia membutuhkan angka 600 ribu barel per hari atau tiga kali capaian Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu untuk mengamankan tingkat konsumsi minyak domestik.
"Beriktunya adalah eksplorasi, kita butuh 600 ribu barel per hari dari jatah yang asli dari eksplorasi. EOR dan eksplorasi ini kelihatannya masih banyak sekali yang pelru diperbaiki ke depan," ujar Hadi.
Senada, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan pemerintah harus memberikan insentif untuk menarik investror minyak kelas kakap.
Terutama untuk eksplorasi migas berisiko tinggi seperti di cekungan Warim, Papua, dan cekungan Seram, Maluku yang disebut punya potensi minyak jumbo hingga 33 miliar barel.
"Yang dilihat dari sisi investor adalah sisi risiko, perusahaan kelas kakap ini punya protofolio di mana mereka lihat dari sisi risiko, politik, geopolitik dan sebagainya, pemerintah musti tanggapi itu juga," kata Moshe di forum yang sama.
Moshe menilai, salah satu regulasi utama yang ditunggu oleh para investor migas adalah pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Migas. Moshe menganggap, legalisasi revisi UU Migas bisa memberikan kepastian hukum atas investasi migas di dalam negeri.
Dia mencontohkan, status hukum SKK Migas yang berdiri di atas Peraturan Presiden (Perpres) dinilai kurang memberi jaminan investasi jangka panjang.
Bentuk kelembagaan SKK Migas saat ini berada di bawah Kementerian ESDM yang diatur melalui Perpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas. "Revisi UU Migas sudah dibahas belasan tahun tapi sampai sekarang belum keluar," ujar Moshe.