Air Products Cabut dari Dua Proyek Hilirisasi Batu Bara, Ini Alasannya
Perusahaan pengolahan gas dan kimia asal Amerika Serikat (AS) Air Products and Chemicals Inc atau APCI keluar dari dua proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang digarap secara patungan dengan PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian ESDM, Muhammad Idris Froyoto Sihite, mundurnya Air Products and Chemicals Inc dari dua proyek hilirisasi batu bara domestik itu disebabkan oleh macetnya hitung-hitungan investasi antar perusahaan.
"Iya, untuk proyek bersama PTBA dan KPC cabut juga, cabut semua. Mungkin karena skema bisnis dan aspek keekonomian yang belum ketemu," kata Idris kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM pada Kamis (9/3).
Idris mengatakan, pemerintah pada Rabu (8/3) kemarin telah memanggil petinggi perusahaan batu bara yang memiliki kewajiban hilirisasi sebagai syarat perpanjangan izin pertambangan usaha khusus atau IUPK.
Aturan ini tertulis pada Pasal 169A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba."Kami tagih komitmen mereka karena perpanjangan kontrak mensyaratkan adanya hilirisasi," kata Idris.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu bara Kementerian ESDM, Lana Saria, menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan langkah alternatif dalam menyikapi mundurnya Air Products and Chemicals Inc dari dua proyek hilirisasi batu bara.
Proyek hilirisasi batu bara diklaim sebagai program menjanjikan di tengah naiknya tren penggunaan energi bersih. "Gak apa-apa, masih banyak yang lain. Ada banyak negara lain yang punya teknologi, InsyaAllah ada gantinya," kata Lana.
Pemerintah sejatinya telah memberikan insentif bagi pelaku usaha batu bara untuk melaksanakan proyek hilirisasi batu bara lewat pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Ciptaker.
Regulasi pada Pasal 128A ayat 1 dan 2 Perppu itu menyampaikan bahwa pemerintah memberikan insentif berupa iuran produksi atau royalti 0% kepada perusahaan pertambangan yang melakukan hilirisasi batu bara.
Adapun KPC berencana membangun proyek olahan batu bara menjadi methanol. Proyek berlokasi di Bengalon, Kalimantan Timur, ini ditargetkan beroperasi pada 2025 dengan kapasitas batu bara 5-6,5 juta ton per tahun (GAR 4.200 kcal/kg). Hasil produknya ditargetkan bisa mencapai 1,8 juta ton methanol per tahun.
Sementara rencana proyek hilirisasi batu bara PTBA berorientasi kepada gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). Proyek yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ditaksir sanggup menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dari batu bara berkalori 4.200 sebanyak 6 juta ton.
Selain itu, pabrik tersebut juga akan memproduksi metanol 2,1 juta ton per tahun dan Syngas atau gas sintetis sebesar 4,5 juta kN/m3 per tahun.
Namun rencana tersebut terancam mandek usai Air Products and Chemicals Inc mengirim surat resmi pengunduran diri kepada pemerintah lewat Kementerian Investasi.
Direktur PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Arsal Ismail, enggan menjelaskan detil alasan maupun faktor hengkangnya Air Products and Chemicals Inc dari proyek gasifikasi batu bara tersebut.
Perseroan juga bakal menjalin kontak dengan Air Products and Chemicals Inc untuk meminta klarifikasi lebih lanjut soal keberlangsungan proyek senilai Rp 34,04 triliun tersebut.
"Air Products sudah kirim surat resmi beserta alasannya. Mereka mungkin punya alasan tersendiri. Surat itu disampaikan melalui kementerian yang bisa jelaskan lebih detil," Kata Arsal saat ditemui wartawan di The St Regis Jakarta pada Kamis (9/3).
Kendati demikian, Arsal menyampaikan bahwa pemerintah tetap berupaya untuk merealisasikan proyek gasifikas batu bara lewat kerja sama dengan investor atau mitra potensial lainnya.
Pasalnya, pemerintah telah berencana untuk membangun kawasan industri khusus (KIK) berorientasi gasifikasi batu bara di Muara Enim, Sumatera Selatan. "Intinya PTBA tetap komitmen untuk mendukung program pemerintah untuk hilirisasi batu bara. Kami jalan terus," ujar Arsal.