Cina Berminat Gantikan Air Product di Proyek Hilirisasi Batu Bara RI
Kementerian ESDM mengabarkan bahwa sudah ada beberapa perusahaan energi asal Cina yang berminat untuk berinvestasi di proyek gasifikasi batu bara menjadi dymethyl eter (DME) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
Kabar tersebut menjadi peluang positif seiring langkah Air Products and Chemicals Inc yang mundur dari proyek hilirisasi batu bara yang kini hanya dijalankan oleh PT Bukit Asam dan PT Pertamina.
Hal tersebut disampaikan oleh Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Investasi, Triharyo Soesilo.
"Dari Cina ada yang masuk, banyak yang berminat dan rasanya sih perusahaannya lebih dari satu," kata Tri saat ditemui selepas agenda Pupuk Indonesia Clean Ammonia Forum (PICAF) 2023 di Menara Danareksa, Jakarta pada Kamis (30/3).
Tri menyampaikan bahwa Cina marupakan negara yang sukses melaksanakan hilirisasi batu bara menjadi DME dengan capaian produksi hingga 12 juta ton per tahun. Kesuksesan Cina sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan hilirisasi batu bara tak terlepas dari peran negara sebagai regulator.
"Cina sudah pengalaman untuk pembangunanannya, jadi tidak ada salahnya kita belajar dari yang sudah pengalaman," ujar Tri.
Pada kesempatan tersebut, Tri menepis anggapan mundurnya Air Products akibat proyek DME di dalam negeri yang tidak ekonomis. Dia menyampaikan bahwa pemerintah sudah merilis keputusan menteri yang disepakati oleh Kementerian BUMN, Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian.
Regulasi itu mengatur stimulus agar Pertamina bisa membeli produk DME dengan harga khusus, sehingga mampu menjamin kepastian pasar atau serapan produksi DME. "Bukan karena keekonomian, kalau keekonomiannya sih masuk. Sangat bisa bersaing dengan LPG," kata Tri.
Mundurnya Air Products dari dua proyek patungan hilirisasi batu bara bersama PT Bukit Asam dan PT Kaltim Prima Coal disebabkan oleh adanya perubahan arah bisnis perusahaan menjadi pengembangan hidrogen di negara asalnya, Amerika Serikat (AS).
Manuver Air Products juga dilatarbelakangi oleh kebijakan Pemerintah AS yang mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) lewat pemberian subsidi kepada proyek yang dikerjakan, khusunya pada pengembangan hidrogen.
Hal tersebut diatur di dalam Inflation Reduction Act (IRA) atau Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang terbit pada Agustus 2022.
Melalui IRA, pemerintah AS menggelontorkan US$ 369 miliar untuk menjaga ketahanan energi nasional sekaligus menekan dampak perubahan iklim. IRA juga mengatur kemudahan kredit investasi untuk pengembangan proyek dan teknologi penyimpanan hidrogen.
Pelaku usaha batu bara meminta pemerintah untuk berperan penuh dalam proyek gasifikasi menjadi Dimethyl Ether (DME) maupun metanol. Di mana pemerintah mengambil peran dari sektor hulu hingga hilir, bertindak sebagai project financer hingga pihak yang menjamin penyerapan hasil produksi.
Dewan Pengawas Indonesia Mining Association (IMA), Ido Hutabarat, mengatakan Indonesia perlu mengadopsi alur kerja Cina dalam mengelola hilirisasi batu bara. Kesuksesan Cina sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan hilirisasi batu bara tak terlepas dari peran negara sebagai regulator.
Menurut Ido, hilirisasi batu bara adalah barang baru di Indonesia, sehingga, modal pendanaan dan akses pasar harus diawasi penuh oleh pemerintah. "Di Cina, keputusan bisnis ditentukan oleh negara," ujarnya dalam Mining Zone CNBC pada Jumat (24/3).
Dia menjelaskan, peran pemerintah dinilai mendesak untuk masuk ke dalam ekosistem hilirisasi batu bara. Alasannya, hasil hilirisasi emas hitam berupa DME merupakan gas sintetis yang punya karakter yang berbeda dengan gas alam.
Sehingga peran pemerintah perlu lebih dalam untuk mengatur harga dan kualitas produk. "Belum tentu gas sintetis ini kualitas dan harganya sama dengan gas alam. Jadi ada resiko di investasi agar produk ini bisa dijamin. Apalagi DME ini digunakan untuk domestik maka perlu kepastian offtaker agar terjadi kepastian serapan," kata Ido.