Pemerintah Kaji Pembentukan Indeks Harga Nikel Atur Transaksi Domestik
Pemerintah tengah merumuskan pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar domestik.
Indeks harga ini ditujukan untuk mengurangi selisih harga yang muncul dari nilai aktualisasi penjualan nikel dengan harga patokan mineral (HPM) yang selama ini mengacu pada rerata harga nikel di pasar London Metal Exchange (LME).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa indeks harga nikel Indonesia dapat menjadi instrumen yang mengatur transaksi nikel dalam negeri. “Pemerintah sedang berfikir untuk punya tempat sendiri supaya bisa atur harga itu,” kata Luhut di Hotel Westin Jakarta pada Senin (9/5).
HPM saat ini masih berpatokan pada rerata harga nikel di bursa LME yang merujuk pada jenis nikel kelas satu sebagai bahan baku kendaraan listrik.
Sementara produksi dan transaksi nikel di Indonesia mayoritas berasal dari jenis kelas dua seperti nickel pig iron (NPI) feronikel hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel.
Fungsi indeks harga nikel Indonesia akan mirip dengan skema harga batu bara acuan atau HBA yang mengatur besaran kewajiban tarif royalti pelaku usaha batu bara di dalam negeri. “Kita juga pingin atur harga sendiri, masak LME yang mengatur harga nikel kita,” ujar Luhut.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan bahwa acuan HPM nikel domestik masih merujuk pada rerata harga nikel LME. Merujuk laporan London Metal Exchange (LME) pada Selasa (9/5) harga nikel untuk kontrak tiga bulan berada di level US$ 23.997 per ton.
Regulasi mengenai pengenaan royalti nikel tercantum di Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2020 “Indeks harga nikel sendiri kita belum punya,” kata Rida di lokasi yang sama. “Selama ini LME itu kami jadikan acuan bikin HPM.”