Ramai Perusahaan Jepang Cari Peluang untuk Keluar dari Bisnis PLTU RI
Sejumlah perusahaan Jepang tengah menjajaki peluang untuk keluar dari bisnis pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia, dan di saat yang sama membantu pengembangan energi terbarukan.
Nikkei Asia melaporkan Sumitomo Corp. berniat mengalihkan asetnya pada PLTU Tanjung Jati B Unit 1-4 tanpa memperbarui kontrak build-operate-transfer (BOT) yang habis pada awal 2030. PLTU Tanjung Jati B Unit 1-4 dibangun dengan dana dari Sumitomo, beroperasi secara komersial pada 2012.
Pada September 2022, unit 5 dan 6 mulai beroperasi, didanai oleh Kansai Electric Power Co. dan investor lainnya. Total kapasitas dari PLTU yang berlokasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ini mencapai 4,6 gigawatt (GW), setara dengan empat pembangkit listrik tenaga nuklir, menjadikannya salah satu pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara.
Kemudian Marubeni Corporation mengumumkan telah mengadakan studi untuk memajukan jadwal berakhirnya operasi atau pensiun dini PLTU Cirebon 1 dari usia normalnya yang akan beroperasi hingga 2042. PLTU ini dioperasikan oleh PT Cirebon Electric Power, di mana Marubeni menguasai 32,5% saham.
Marubeni disebut tengah mempertimbangkan apakah akan menggunakan kerangka pinjaman dari Asian Development Bank (ADB) untuk pensiun dini PLTU Cirebon 1. Adapun pemegang saham PLTU ini lainnya yaitu Indika Energy dan Korean Midland Power, dan Samtan Corporation.
Terkait PLTU Cirebon 1, Kementerian BUMN menyatakan pensiun dini dapat dieksekusi tahun ini. “Untuk yang IPP (Cirebon) kelihatannya sudah bisa tahun ini,” kata Pahala Mansury ketika masih menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN 1 pada acara EBTKE ConEx 2023, Rabu (12/7).
Untuk mempensiunkan dini PLTU berkapasitas 660 megawatt (MW) tersebut dibutuhkan dana mencapai Rp 4,5 triliun, yang skemanya akan diputuskan pada Oktober mendatang.
Perusahaan Jepang lainnya yang ingin keluar dari bisnis PLTU di Indonesia yaitu Mitsui & Co., yang memiliki 45,5% saham di PLTU Paiton di Jawa Timur. PLTU tersebut menyumbang sekitar separuh dari kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara Mitsui.
Dengan meningkatnya fokus pada tata kelola lingkungan, sosial dan perusahaan (ESG), bank dan perusahaan asuransi meneliti keterlibatan mereka dengan tenaga batu bara. Megabank Jepang seperti Mitsubishi UFJ Financial Group telah menangguhkan pembiayaan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara.
Hal ini mempersulit upaya untuk mengumpulkan dana yang stabil agar bisnis tetap berjalan. Namun, dalam beberapa kasus, mengambil rute penarikan bukanlah suatu pilihan. Salah satunya pada PLTU Batang yang merupakan proyek pertama di bawah prakarsa kemitraan publik-swasta Indonesia-Jepang.
PLTU tersebut dioperasikan oleh PT Bhimasena Power Indonesia, yang merupakan perusahaan patungan PT Adaro Energy dan Itochu Corporation, di mana Itochu menguasai 30% saham. PLTU Batang mulai beroperasi pada September 2022, dengan investasi US$ 2,83 miliar atau sekitar Rp 43 triliun.
Itochu berencana memperkenalkan teknologi untuk membakar amonia dan hidrogen yang dicampur dengan batu bara untuk mengurangi emisi karbon PLTU Batang. Sumitomo juga akan memulai co-firing biomassa di PLTU Tanjung Jati B Unit 1-4 pada akhir tahun ini dan mempelajari kemungkinan co-firing biomassa di Unit 5 dan 6.
Di saat yang sama, perusahaan-perusahaan asal Jepang ini juga melihat peluang dalam membantu Indonesia beralih ke energi terbarukan. Sumitomo sedang membangun pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan di Kalimantan bagian utara.
Ketika selesai, itu akan menjadi salah satu pembangkit listrik tenaga air terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas pembangkitan 9 GW. Kemudian ada Mitsubishi yang telah berinvestasi di raksasa panas bumi Star Energy dan telah mulai mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia.