Pebisnis Tak Yakin Target Produksi Minyak 2030 Tercapai, Ini Alasannya
Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) memperkirakan target produksi minyak 1 juta barel per hari (bopd) pada 2030 akan sulit tercapai. Hal itu merujuk pada kegiatan produksi minyak saat ini yang hanya mampu menahan penurunan alamiah dari lapangan tua.
Capaian minyak terangkut atau lifting minyak semester I 2023 masih berada di level 615.500 barel per hari (bph). Aspermigas menyebut sisa termin tujuh tahun tak cukup untuk mengejar target 1 juta barel pada 2030.
Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal mengatakan kondisi lapangan minyak dalam negeri sudah masuk dalam tahap mature, sehingga membutuhkan investasi tambahan untuk pengeboran minyak pada lapisan lebih dalam.
"Target 2030 untuk minyak saya rasa memang sulit karena produksinya tidak naik-naik," kata Moshe saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (11/8).
Moshe menambahkan, ada dua langkah yang dapat mengerek capaian produksi migas ke depan, yakni memperbanyak kegiatan eksplorasi dan Enhance Oil Recovery (EOR). EOR merupakan metode peningkatan produksi minyak bumi dengan menginjeksikan sumber energi eksternal, seperti injeksi emisi karbon maupun injeksi uap ke dalam sumur yang ada.
Lebih lanjut, kata Moshe industri hulu migas kini harus mengalihkan pengeboran minyak ke lapangan lepas pantai (offshore) yang membutuhkan biaya lebih tinggi dari pengeboran darat atau onshore. Dia berharap pemerintah juga turut peran kegiatan investasi hulu migas, terutama pada aktivitas eksplorasi.
"Pemerintah juga harus kucurkan uang di sektor hulu, tidak lagi bergantung pada sektor swasta," ujarnya.
Di sisi lain, SKK Migas juga mengakui beratnya target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030 karena kinerja pengeboran yang belum maksimal saat ini. Hal itu tak terlepas dari salah satu aktivitas pengeboran yang lambat.
Indonesian Petroleum Association (IPA) menyoroti adanya kelangkaan dan tingginya biaya sewa rig atau alat pengeboran untuk kegiatan hulu migas di dalam negeri.
Kondisi tersebut berpotensi mengancam pencapaian target pengeboran sumur migas tahun ini yang diperkirakan tertahan di angka 864 sumur, lebih rendah dari target 991 sumur.
Vice President IPA Ronald Gunawan menjelaskan kondisi kekurangan bor di sektor hulu migas bermula saat mayoritas pelaku usaha mengurangi kegiatan pengeboran imbas krisis Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada 2020-2022.
Mayoritas perusahaan yang bergerak di penyewaan rig dan perusahaan yang memiliki rig mandiri saat itu mengendapkan alat pengeboran mereka di lokasi penyimpanan.
Ronald melanjutkan, gairah pengeboran hulu migas mulai timbul saat memasuki medio 2022 seiring adanya krisis energi di Eropa. Perburuan energi fosil secara gencar menimbulkan permintaan rig yang naik signifikasi. Angka permintaan lebih tinggi dari jumlah rig yang tersedia.
Fenomena kelangkaan rig sejatinya merupakan persoalan yang telah terjadi sejak awal tahun. SKK Migas melaporkan kebutuhan 150 rig untuk memenuhi target pengeboran 991 sumur pengembangan dan 57 sumur eksplorasi. Namun hingga April, SKK Migas baru menjamin ketersediaan 111 rig.
Secara rinci, Indonesia membutuhkan 111 rig sumur pengembangan dan 39 rig sumur eksplorasi, sehingga totalnya 150. Namun yang tersedia yakni 89 rig sumur pengembangan dan 22 rig sumur eksplorasi atau total 111. Dari total yang tersedia, 89 rig sumur pengembangan sudah dikontrak. Sedangkan 22 rig sumur eksplorasi dalam proses pengadaan.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi Suryodipuro mengatakan pihaknya telah mengunci komitmen 20 rig untuk sumur eksplorasi dan masih ada 19 rig dalam proses pengadaan. Keterbatasan fasilitas rig tersebut ikut mengerek biaya sewa, terutama untuk rig pengeboran di wilayah migas offshore.