DPR: Ada Dua Konsekuensi Jika Pertalite Diganti Pertamax Green 92
Pemerintah tengah mengkaji potensi penggantian BBM Pertalite menjadi Pertamax Green 92. Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto, menilai ini akan menyebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Mulyanto mengatakan jika ia tidak setuju akan rencana ini. “Karena sama saja dengan menaikkan harga bbm bersubsidi,” kata Mulyanto kepada Katadata.co.id pada Selasa (17/10).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa ketidaksetujuan ini dilatarbelakangi oleh harga Pertamax Green 92 yang lebih tinggi dibandingkan Pertalite. Namun, tak menutup kemungkinan akan setuju jika pemerintah menjual Pertamax Green 92 seharga dengan Pertalite yang ada sekarang.
“Lagi pula, campuran bioetanol untuk Pertamax Green 92 ini diadakan secara impor. Ini makin menekan defisit transaksi berjalan pada sektor migas dan ketergantungan kepada impor,” kata dia.
Terkait kemungkinan harga Pertamax Green 92 ini Mulyanto mengatakan hanya ada dua pilihan, pertama dengan menambah subsidi, atau yang kedua dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.
Adapun rencana untuk mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 diutarakan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Rabu (30/8).
Nicke menjelaskan, usulan mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 merupakan implementasi paket kebijakan yang tertuang dalam ‘Program Langit Biru Tahap II’.
Sebelumnya, Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan realisasi distribusi Pertamax Green 92 masih dalam tahap kajian Kementerian ESDM dan PT Pertamina selaku badan usaha distribusi BBM pemerintah. "Pertamax Green 92 masih 2026, masih lama untuk skala besarnya," ujarnya beberapa waktu lalu, Jumat (15/9).
Alasannya, penyaluran Pertamax Green 92 akan berdampak ada penyetopan penjualan Pertalite. Pertalite merupakan BBM dengan tingkat konsumsi terbanyak secara nasional, hampir 80% di antara BBM jenis Bensin lainnya, seperti Pertamax, dan Pertamax Turbo.
Menurut Tutuka, penghapusan distribusi Pertalite butuh kajian detail dan mendalam, karena sifatnya yang menjadi produk BBM domestik paling banyak dikonsumsi masyarakat.
"Pemerintah harus melihat daya beli masyarakat dan dampak kondisi sosial. Sekarang ini masih kajian teknis. Setelah itu baru masuk ke arah perhitungan ekonomi, bisa diterapkan atau tidak," ujarnya.