Ada Smelter Impor Bijih Nikel, ESDM: Cadangan Masih Melimpah
Kementerian ESDM memastikan cadangan nikel Indonesia masih melimpah. Ini menepis anggapan bahwa cadangan mulai menipis seiring adanya perusahaan smelter yang mengimpor bijih nikel dari Filipina.
Direktur Pembinaan Program Minerba Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Tri Winarno mengatakan Indonesia masih memiliki cadangan nikel hingga lima miliar ton. “Nikel kita punya cadangan 5 miliar ton, saprolit 3,5 miliar ton, limonit 1,5 miliar ton,” ujarnya di Gedung DPR RI pada Senin (6/11).
Tri menerangkan guna menambah cadangan nikel ini terdapat mekanisme penugasan. Mulai dari lelang wilayah yang selanjutnya akan memberi penawaran kepada lembaga riset guna melakukan penelitian eksplorasi.
Mengenai penemuan baru cadangan nikel, Tri menyebut kemungkinan wilayah tersebut berada di sekitar Pulau Sulawesi. Kendati demikian, Tri menyebut belum ada rencana penemuan cadangan nikel yang baru hingga saat ini.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membenarkan kabar bahwa ada perusahaan smelter yang mengimpor bijih nikel dari Filipina.
Menurut dia, hal itu terjadi karena dipicu oleh penutupan aktivitas pertambangan nikel di wilayah izin usaha PT Aneka Tambang atau Antam seluas 157 hektar di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
“Jadi memang yang impor itu adalah perusahaan yang tadinya mendapat pasokan dari Blok Mandiodo,” kata Arifin kepada wartawan di Gedung Nusantara II DPR Jakarta pada Kamis (31/8).
Arifin menjelaskan, perusahaan smelter berhak untuk mengimpor bijih nikel dari luar negeri. Meski begitu, dia menjamin harga bijih nikel impor lebih tinggi dari harga nikel domestik.
Pasokan bijih nikel yang dikeruk oleh perusahaan pertambangan dalam negeri pada umumnya telah menjalin kontrak tetap dengan perusahaan smelter tertentu.
Dengan demikian, perusahaan smelter yang terdampak penutupan Blok Mandiodo sulit untuk mendapat pasokan bijih nikel dari blok pertambangan nikel domestik lainnya. “Semua produsen tambang sudah terikat dengan offtaker smelter yang sedang berjalan,” ujar Arifin.
Kebijakan untuk menutup operasi Blok Mandiodo berdampak pada berhentinya praktik penggalian ilegal yang dilakukan oleh PT Lawu Agung Mining dan 38 perusahaan sub-kontraktornya.
PT Lawu Agung mendapatkan hak pengerukan bijih nikel di Blok Mandiodo melalui pembelian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Kabaena Kromit Pratama yang diteken oleh Ridwan Djamaluddin selaku Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) saat itu.
Lewat RKAB tersebut, PT Lawu menjual hasil tambang ke sejumlah smelter yang diduga dilakukan secara ilegal. Saat ini, Ridwan ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi.
Ridwan dianggap terlibat dalam kasus korupsi pertambangan bijih nikel di wilayah izin usaha pertambangan Antam. Ia berperan menyederhanakan aspek penilaian perusahaan pertambangan yang tertuang dalam keputusan Menteri ESDM Nomor.1806K/30/MEM/2018 pada tanggal 30 April 2018.
Akibat penyederhanaan aspek penilaian tersebut, maka PT Kabaena Kromit Pratama yang sudah tidak memiliki deposit nikel di wilayah Izin Usaha Pertambangan-nya, mendapatkan kuota pertambangan bijih nikel di (RKAB) 2022 sebanyak 1,5 juta metrik ton.
Arifin mengatakan segara praktik pertambangan ilegal di Blok Mandiodo harus segera dihentikan untuk menutup celah kerugian negara makin bertambah.