Indonesia Tak Kuasai Teknologi, Hilirisasi Batu Bara Dinilai Berat
Hilirisasi batu bara Indonesia dinilai masih berat. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif menyebut hal ini lantaran Indonesia tidak menguasai teknologinya.
“Begitu bicara ke nilai tambah, maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia memiliki kelemahan besar. Kita tidak punya teknologi, kita membayar (teknologi) terlalu mahal,” ujarnya dalam Seminar Energy for Prosperity: The Economic Growth Impacts of Coal Mining di Jakarta, Kamis (14/3).
Irwandy mencontohkan seperti pengolahan nilai tambah nikel yang seluruh teknologinya juga dari luar negeri. “Teknologi RKEF 90% dari Cina, begitu juga HPAL untuk baterai dari sana. Kalau kita hitung berapa biaya untuk teknologi itu besar sekali,” ujarnya.
Dalam paparannya Irwandy menyebutkan terdapat delapan teknologi hilirisasi batu bara yang sedang dikembangkan. Teknologinya meliputi gasifikasi batu bara, pencairan batu bara, briket batu bara, cokes making, coal upgrading, ekstraksi batu bara, blending facility, hingga penerapan CCS dan CCUS.
Irwandy mengatakan, sebagian besar teknologi tersebut masih dalam tahap kajian kelayakan hingga penyiapan pembangunan. Namun sebagian kecilnya sudah masuk tahap pembangunan dan penerapan teknologi.
“Bagaimana bisa membuat nilai tambah batu bara? Ini ada teknologi yang bisa, Cuma sampai sekarang Indonesia belum melihat dengan baik. Nilai tambah yang ada baru menjadi briket semi coking coal. Jadi masih sangat sedikit dan masih panjang cerita nilai tambah batu bara,” kata dia.
Irwandy mengatakan nilai tambah batu bara perlu didorong agar bisa memperbesar pendapatan negara. Dia mencontohkan dari data 2021, pada tahun tersebut kekayaan mineral dan batu bara Indonesia mencapai US$ 4 triliun. Dari total tersebut batu bara mengisi dua per tiga bagian kekayaannya.
“Jadi peran batu bara itu sebenarnya besar kepada penghasilan yang kita dapat. Tapi 2021 pemasukan kita dari batu bara itu hanya US$ 47 miliar. Anggap sebagai gambaran tahunan, artinya return of equity sangat kecil kurang lebih 1,2%,” ujar Irwandy.